Bukan Duta Besar bagi Drama Korea

Siapa di sini yang suka menonton drama Korea?

Nggak ada? (celingak-celinguk)

Siapa di sini yang nggak suka menonton drama Korea?

Mungkin banyak yang mengacungkan tangan, lebih banyak lagi yang mau julid. Hahaha.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, ijinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu.

Nama saya Rijo, penonton drama Korea sejak tahun 2016. Perkenalan pertama dengan drama Korea adalah melalui drama “Full House” yang dibintangi oleh Song Hye Kyo dan Rain pada tahun 2004. Di situ saya pertama kali menonton 16 episode secara maraton bersama teman-teman satu lab di kampus.

Ketiadaan akses dan kemalasan berusaha membuat saya tidak menonton drama Korea sampai tahun 2016, ketika teman saya mengajak saya menonton “Descendants of the Sun” yang dibintangi oleh Song Joong Ki dan (lagi-lagi) Song Hye Kyo. Sejak saat itu saya berlangganan Netflix supaya bisa menonton secara legal.

Inga inga, hargailah jerih payah orang yang membuat drama dengan menonton di saluran yang resmi. Dulu cuma ada Netflix, sekarang ada VIU, Iqiyi, Disney Hotstar dengan biaya berlangganan yang bervariasi dan terjangkau.

Kembali ke aktivitas menonton drama Korea, atau yang lebih lazim dikenal sebagai drakor.

Sejak mulai menonton dan secara terbuka mengakui mengagumi drama produksi Negeri Ginseng itu, sudah tak terhitung berapa banyak komentar julid yang saya terima.

“Ngapain sih nonton drakor? Buang-buang waktu aja.”

“Hati-hati, lho, nonton drakor, nanti anak dan suami nggak keurus.”

Kalau bisa disimpulkan, itulah dua komentar paling populer dari keluarga besar, kerabat, teman, kenalan, sampai friend/follower di media sosial.

Ada banyak sesama penonton drakor yang baper mendengar komentar-komentar semacam itu dan ingin sekali membalas:

“Waktunya milik saya, kenapa orang lain yang rese?”

“Memang mereka tahu gimana saya mengatur waktu untuk mengurus keluarga sekaligus mencari hiburan dari drakor?”

Atau terhadap komentar julid yang ekstrim seperti “lupakan oppa, kembalilah ke suami”, sesama penonton drakor itu ingin membalas:

“Memangnya oppa dan suami pernah satu liga? Pernah berada di tempat yang sama untuk dibanding-bandingkan?”

Orang bisa julid karena berbagai alasan: iri hati, tidak mengerti, tidak suka, tidak sepaham, tidak setuju, nyinyir, gatel aja buat berkomentar, kebanyakan waktu luang untuk mengurusi hidup orang lain, dan sebagainya, dan seterusnya.

Satu hal yang saya tahu, kejulidan tidak menghasilkan apa pun yang baik selain emosi negatif yang timbul pada diri orang yang menjulidi dan dijulidi.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana menghadapi dan mengatasi kejulidan orang lain yang kita tidak sangka, tidak terima, atau tidak kuasa untuk menangkis?

1. Jawab dengan Prestasi

Saya pikir saya perlu menonton drama Korea. Saya butuh menonton untuk mengisi bejana kemampuan saya sebagai penulis fiksi. Alasan selengkapnya saya tulis di sini dan saya rangkum di dalam bagan ini:

Bagan penciptaan fiksi yang saya buat untuk penampilan Drakor Class pada acara “Crash Landing on K-Drama” yang diselenggarakan oleh Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) pada bulan Desember tahun 2020.

Sebagai penulis (pencipta) fiksi saya perlu membaca dan menonton supaya bisa menulis. Kebetulan saja saya memilih drama (dan terkadang film) Korea sebagai bahan tontonan, tapi itu tidak berarti saya tidak menonton karya sinematik dari Hollywood, Eropa, dan sebagainya.

Panjang ceritanya untuk menjelaskan mengapa drama Korea mendapat stigma begitu negatif di mata orang, tapi saya memilih untuk menjawabnya dengan prestasi.

Pada bulan Mei tahun 2021 saya lolos seleksi menjadi satu dari 3.000-an Honorary Reporter dari seluruh dunia. Sebagai reporter, kami bekerja untuk mempromosikan kebudayaan Korea di bawah pembinaan Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Republik Korea Selatan.

Saya tidak menyangka, esai saya tentang drama Korea sebagai sarana untuk mempelajari kebudayaan Korea membuat saya menjadi salah satu reporter terpilih. Saya sangat senang berada di dalam program ini dan berkontribusi aktif bagi program Honorary Reporter termasuk menjadi pemateri untuk salah satu pelatihan yang diselenggarakan.

Selain itu, bersama komunitas Drakor Class saya juga mempromosikan drama-drama Korea terbaru melalui siaran radio rutin dua kali dalam sebulan dalam program Johayo Show di Radio RPK 96.30 FM Jakarta.

“Menjadi honorary reporter dan siaran radio hanya gara-gara drakor? Kok bisa?”

Bisa saja. Saya tidak melakukan itu semua untuk menanggapi mereka yang julid. Saya tidak sedefensif dan se-kurang kerjaan itu, hahaha. Saya melakukannya karena percaya bahwa dedikasi dan kerja keras pada satu hal pasti akan membuahkan hasil, apa pun bidangnya.

Itu terbukti dan itu membuat setidaknya orang-orang di sekitar saya berpikir ulang dan semoga saja meninjau kembali kejulidan pendapat mereka.

Yang saya sadari benar, kesempatan semacam itu tidak datang kepada semua penonton drakor, sehingga sulit untuk selalu menjawabi orang yang julid dengan prestasi. Oleh karena itu, ijinkanlah saya menyarankan hal berikut untuk menangkis kejulidan orang terhadap para penonton drakor.

2. Juliders menggonggong, Kafilah Berlalu

Nenek moyang pada jaman dahulu sudah mengemukakan sebuah pepatah yang tak akan lekang oleh waktu:

“Anjing menggonggong, kafilah berlalu”

yang pada jaman now bisa diganti dengan:

Juliders menggonggong, kafilah berlalu”.

Kita tidak akan pernah bisa mengontrol reaksi orang lain terhadap sikap, tindakan, alasan, dan keseluruhan aspek hidup kita. AKAN TETAPI, kita selalu bisa mengontrol reaksi kita terhadap reaksi mereka itu.

Mbulet? Intinya sih, tidak perlu memberi penjelasan karena orang yang menyukai kita tidak membutuhkannya dan orang yang membenci kita pasti tidak akan memercayainya. Tah eta satu lagi kalimat bijak warisan orang-orang dari jaman dulu.

Saya akui, untuk SEMUA hal ada saja orang-orang yang kebablasan. Suka terlalu fanatik, benci sampai ke ubun-ubun, menggemari oppa sampai lupa cucian, setrikaan, makan siang, fokusnya hanya menonton dan menonton saja. Ada orang yang seperti itu.

Namun, ada juga orang yang menonton drakor dengan cara mencicil 1 episode selama beberapa hari, atau 1 judul selama beberapa bulan, atau mengikuti drama ongoing yang selesai dalam 2-3 bulan. Ada juga orang yang seperti itu.

Ada begitu banyak variasi dan derajat nge-fans sama drakor dan kita sungguh naif jika hendak memukul rata satu pendapat berlaku untuk semua anggota komunitas penonton drakor.

Dituduh buang-buang waktu?

Belum tentu.

Dituduh menelantarkan suami dan anak?

Siapa yang benar-benar tahu dinamika di rumah tangga orang lain, siapa yang terurus dan siapa yang terlantar?

Dituduh mengabaikan pekerjaan rumah tangga?

Adakah yang segitu kepo dengan bagaimana rumah tangga seseorang dijalankan, kapan piring harus dicuci, kapan kamar mandi harus digosek, dan seterusnya?

Dituduh lebih menyukai oppa daripada suami/pacar sendiri?

Ini pendapat yang rada-rada … menurut saya. Drakor itu satu liga dengan Gr***dia Digital, sifatnya adalah hiburan yang diakses di kala senggang, dalam artian semua kewajiban sudah ditunaikan. Kalau sampai mendambakan oppa di seberang lautan dan mengabaikan pasangan di pelupuk mata, ya masalahnya bukan di drakornya kali, tapi di diri si penonton.

Untuk SEMUA HAL (bukan hanya drakor), intinya hanya ada dua:

  1. pengendalian diri,
  2. semua yang berlebihan itu tidak baik.

Menontonlah drakor (atau karya sinematik dari negara lain, termasuk “Layangan Putus” kalau perlu), jika memang menggemarinya, tanpa perlu menghiraukan apa kata orang dan menjelaskan diri pada mereka.

Selalu akan ada yang berkomentar, selalu akan ada yang julid terhadap kehidupan kita (apalagi kalau sudah terpampang di media sosial), tapi masak iya kita mau menanggapi satu per satu komentar yang dilontarkan orang?

Rugi, Bund. Rugi waktu dan napas hidup kita untuk menangkis serangan tak terarah dari lawan yang kasatmata. Kebaskan kasut dan tinggalkan saja lapangan permainan mengomentari dan menjulidi hidup orang lain.

Tentu saja pendapat ini juga berlaku buat kita yang sudah menyerempet-nyerempet menjulidi hidup orang lain juga, ya. Nggak usah, Bund, rugi. Mending waktu dan tenaganya buat nonton drakor aja. Eh kok balik ke situ lagi, hahaha.

Akhir Kata

Semua orang bisa julid, termasuk (sejujurnya) saya dan kamu. Mengapa orang-orang bisa sangat julid, bukan hanya terhadap penonton drama Korea? Saya ulangi lagi di sini alasannya, karena mereka:

  1. tidak mengerti,
  2. tidak sepaham,
  3. tidak suka,
  4. tidak setuju,
  5. atau bottom line-nya kebanyakan waktu luang buat mengomentari hidup orang lain.

Kita bisa menanggapi kejulidan dengan prestasi atau pengabaian. Menurut saya, daripada kebakaran jenggot setiap kali dijulidin, lebih baik kita telaah lagi pengendalian diri kita, kita atur cara terbaik untuk menanggapi komentar yang sok tahu banget, salah alamat, atau rese aja.

Saya pribadi memilih mengabaikan komentar julid terhadap penonton drakor karena menurut saya drakor tidak perlu dibela mati-matian. Dih, siapa saya, bukan duta besar bagi drama Korea kok, bukan bagian dari barisan pembelanya, hanya ikan teri di lautan penonton drakor di seluruh dunia.

Dijulidin? Santai saja dan pergi. Netflix sudah menanti, hahaha.

Selamat menjalani hidup dengan lebih tenang tanpa kejulidan dan emosi negatif lain yang hanya membuang waktu dan tenaga.

Selamat menemukan sarana hiburan yang paling pas dengan jadwal keseharian dan kantong kita.

Satu lagi pepatah dari nenek moyang untuk mengakhiri tulisan ini.

Tak kenal, maka tak sayang.

Saya tambahkan, ya. Kalau sudah kenal, bisa sayang-sayangan (sama drakor). Peace.

1854

4 thoughts on “Bukan Duta Besar bagi Drama Korea

Leave a comment