Kesan Pertama Drama Korea: The Devil Judge

Drama Korea “The Devil Judge” mulai ditayangkan pada tanggal 3 Juli 2021 lalu dan mendapatkan reaksi positif. Sebagai penggemar drama Korea bergenre hukum, saya pasti mulai mengikuti drama ini. Alasan utamanya adalah Ji Sung.

Saya menanti-nantikan kehadiran kembali Ji Sung setelah ia sukses berperan sebagai tokoh utama di dalam drama medis “Doctor John” (2019), yang menuai banyak pujian karena temanya yang tidak biasa.

Seorang dokter yang tidak bisa merasakan sakit harus mengobati rasa sakit yang diderita pasiennya.

Cuma Ji Sung yang bisa pull off karakter rumit semacam Dokter Cha Yo Han di dalam drama ini.

Entah ini pun intended atau bagaimana, nama tokoh yang diperankan oleh Ji Sung di dalam drama “The Devil Judge” adalah Yo Han juga, cuma berbeda nama keluarga.

Di dalam drama dua tahun lalu dia menjadi Dokter Cha Yo Han dan di dalam drama tahun ini dia menjadi Hakim Kang Yo Han.

Sejujurnya saya belum pernah menemukan aktor Korea berperan dalam dua/lebih drama berbeda dengan menggunakan nama yang nyaris mirip. Ini yang membuat para penggemar Ji Sung agak mengernyitkan dahi.

Mengingat ada jutaan drama Korea bertemakan hukum dan kriminal, apa yang membuat drakor “The Devil Judge” ini stand out dibandingkan drakor-drakor bertema sejenis?

Apa yang membuatnya berbeda?
Apa yang baru?
Apa yang membuatnya menarik?

Mari kita bahas satu per satu.

Apa yang Membuatnya Berbeda?

Pada awal bulan ini saya pernah membuat bagan berikut untuk tulisan saya di Drakor Class.

Topik-topik utama dalam drama Korea
bertemakan hukum dan kriminal

Sebenarnya bagan tersebut tidak hanya berlaku untuk industri pembuatan film/drama di Korea Selatan. Industri film yang jauh lebih mapan seperti Hollywood pun membuat karya dengan tema besar dan benang merah di atas.

Dimulai dari kejahatan yang ditindak oleh polisi dengan dibantu oleh penyelidik forensik, berkas kasus pun dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.

Drama (Korea maupun drama dari negara lain) yang mengambil sudut pandang mulai dari sisi kepolisian, penyelidik forensik, kehakiman, kejaksaan, advokat, terpidana itu sendiri sampai ke kehidupan di lembaga pemasyarakatan ada berlimpah.

Jika ditarik ke ujung pangkal sebelum ada penyelesaian kasus kejahatan, maka kehidupan seputar akademi kepolisian dan sekolah hukum juga menjanjikan tema yang menarik untuk diangkat ke dalam sebuah karya seni.

Yang membuat “The Devil Judge” ini berbeda dari drama Korea sebelumnya yang mengangkat tema kehakiman adalah cerita yang berpusat di karakter utamanya yaitu Hakim Kang Yo Han (Ji Sung) dan proses peradilan yang tidak berlangsung di ruang tertutup seperti lazimnya.

Kang Yo Han bukan hakim biasa. Dia adalah ketua hakim dari sebuah live court show, dimana proses peradilan ditayangkan secara live di televisi dan diperlakukan layaknya sebuah show.

Hakim Oh (associate judge), Hakim Kang (head judge), dan Hakim Kim (associate judge)

Tidak hanya itu, keputusan pengadilan tidak hanya berpijak pada hukum dan konstitusi yang berlaku, tapi juga dipengaruhi oleh sentimen publik.

Publik yang menonton proses peradilan secara live itu dapat memilih satu di antara dua opsi yang diajukan oleh Hakim Kang Yo Han, yaitu terdakwa bersalah sesuai tuntutan jaksa, atau tidak.

Proses memilihnya pun mudah sekali. Cukup dengan klik di aplikasi yang disediakan oleh stasiun televisi, maka pilihan dari setiap gawai akan terekam dan terekapitulasi secara live dan ditayangkan di layar-layar lebar yang terpampang di ruang show peradilan itu.

Siaran live rekapitulasi suara rakyat

Canggih sekali, ya? Dan persis acara memilih idol yang bersliweran di televisi kita selama dua dekade terakhir.

Siapa yang diuntungkan dari live court show? Stasiun televisi dan para pengiklan di acara itu. Semakin banyak penonton, semakin besar kesempatan untuk eksposur produk, semakin banyak pengiklan, dan terakhir semakin banyak pemasukan yang diterima oleh stasiun televisi.

Apa output yang diharapkan dari live court show?
Keputusan bersalah/tidak bersalah mungkin berdasarkan sentimen publik, tapi jenis hukuman yang dijatuhkan bergantung penuh pada Hakim Kang Yo Han dan kedua rekannya (Hakim Oh dan Hakim Kim Ga On (Jin Young Got7) yang lebih banyak tampil sebagai pajangan di show itu).

Live court show tidak meniadakan pengadilan yang berjalan secara tertutup. Pengadilan seperti yang kita kenal menurut cerita di dalam drakor ini tetap ada dan tetap berfungsi.

Kasus yang disidangkan di show ini justru kasus-kasus yang kontroversial, yang sengaja dipilah untuk menarik minat dan engagement publik terhadap proses peradilan, demi meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang berjalan.

Jadi, yeoreobun, tidak ada yang kebetulan dalam hal posisi dan pemegang kekuasaan. Semuanya sudah diatur, ada skenario, ada roadmap untuk mencapai tujuan para pihak yang berkepentingan. Di dalam drakor ini para pihak itu adalah presiden dan menteri kehakiman Korea Selatan, dua orang taipan media, dan organisasi adikuasa The Foundation.

Hakim Kang Yo Han adalah bagian dari propaganda pemerintah untuk meningkatkan rasa percaya publik pada hukum dan keadilan. Bagaimana jika hakim yang menjadi “duta” itu malah memiliki agendanya sendiri?

Apa yang Baru?

Peradilan terbuka sebenarnya bukan barang baru. Pada abad pertengahan di Eropa, sekitar abad ke-5 sampai ke-15 Masehi ketika hukum masih berproses untuk menemukan bentuknya, perkara kejahatan sudah disidang di depan massa.

Kita bisa mundur lagi ke 2000 tahun yang lalu ketika Yesus yang disebut Kristus disidang secara terbuka di kota Yerusalem oleh Pontius Pilatus, gubernur Romawi ketika itu.

Meskipun Gubernur Pilatus tidak dapat menemukan kesalahan pada diri Yesus, tapi atas desakan orang-orang Yahudi yang menghadiri sidang terbuka itu, Yesus dihukum mati dengan cara disalibkan. Atas desakan massa yang sama, Barabas yang merupakan seorang penjahat pun dibebaskan.

Jika menilik sejarah, maka kita akan bertanya-tanya: sebenarnya siapa yang memiliki kekuasaan? Apa itu hukum? Apa itu keadilan, jika sebuah keputusan tidak didasari oleh sebuah patokan/pedoman, tapi hanya mengikuti selera massa?

Masalah publik jaman dulu sama dengan masalah publik jaman dulu: kedangkalan pengetahuan dan ketergesa-gesaan untuk bertindak.

Publik jaman sekarang mungkin lebih canggih dari sisi teknologi, tapi natur manusia tidak banyak berubah. Hanya dengan mengetahui sedikit, banyak orang sudah sok tahu dan mengabaikan pendapat orang-orang yang belajar dan bekerja bertahun-tahun di bidang itu.

Tidak semua anggota masyarakat well-versed, fasih dalam hal hukum. Namun, mereka membenarkan opsi untuk menghukum terdakwa dengan mengabaikan hukum pembuktian, keterangan saksi, dan hal-hal lain yang diajukan oleh jaksa dan advokat untuk mencapai sebuah keputusan yang adil.

Yang baru dari drakor “The Devil Judge” adalah caranya mengemas ulang sebuah proses peradilan yang primitif dan obsolete, yaitu pengadilan oleh massa, menjadi live court show yang relevan dengan kondisi psikologis warganet.

Live Court Show

Kondisi psikologis bagaimana yang dimaksud?

Kita kembali sebentar ke karakter Kang Yo Han.

Sebagai hakim, Kang Yo Han adalah petugas pengadilan. Akan tetapi live court show menjadikannya selebriti baru. Publik yang setuju dengan keputusannya memujanya habis-habisan. Mereka mengidolakannya, membelanya mati-matian dari para lawannya.

Hakim Kang Yo Han, influencer di Korea Selatan yang mengalami distopia

Mereka tidak lagi bisa membedakan antara Hakim Kang Yo Han yang juga mesti tunduk pada hukum yang berlaku dan Hakim Kang Yo Han yang sangat keren karena menyuarakan suara mayoritas keinginan rakyat. Mereka patuh total pada tokoh yang mereka anggap idola.

Kepopuleran Kang Yo Han adalah pedang bermata dua. Ketika publik mencintainya dengan membabi-buta, mereka bisa dengan sengaja tidak mengindahkan keputusannya yang kontroversial dan membawa preseden buruk di kemudian hari.

Contohnya saja keputusan Hakim Kang Yo Han untuk menjatuhkan hukuman memukuli (flagellation) Young Min, anak dari Menteri Cha, secara berkala sebagai ganjaran atas kekerapannya melakukan assault.

Hakim Kang Yo Han dan Hakim Kim Ga On (beserta dosennya yang mengkhawatirkan sepak-terjang Hakim Kang) melihat sendiri bahwa hukuman pemukulan itu membawa sebuah gelombang keganasan baru di masyarakat.

Para influencer di dunia maya mengajak para pengikut mereka untuk menjalankan keadilan jalanan. Orang-orang yang mereka temui di jalan dan mereka anggap bersalah akan mereka pukuli. Anak-anak juga menganggap enteng pemukulan dan mulai memukuli teman mereka ketika bermain.

Pengadilan yang dibuka kepada dan melibatkan publik malah melahirkan keberingasan dan nafsu untuk membalas dendam. Alih-alih menentramkan Korea Selatan yang (ceritanya) berada di tengah kondisi distopia, yang ada adalah kekacauan yang tidak perlu karena meneladani orang yang tidak lurus-lurus amat (Hakim Kang Yo Han).

Pada enam episode pertama ada banyak sekali scene yang “mempertentangkan” Yo Han dan Ga On. Yo Han yang melambangkan angin perubahan yang mendesak dan absolut dibuat kontras dengan Ga On yang melambangkan cita-cita untuk kembali pada hukum dan keadilan yang murni. Dinamika antara keduanya membuat drama ini tetap menarik untuk disimak.

Kang Yo Han vs. Kim Ga On

Apa yang Membuatnya Menarik?

Sedari episode pertama banyak yang membandingkan drama ini dengan drakor “Beyond Evil” yang ditayangkan pada awal tahun ini. Ada dua tokoh utama pria, yang satu tua dan satu muda, dimana keduanya menyimpan sebuah rahasia besar yang menjadi kunci bagi pemecahan masalah pihak yang berseberangan dengan mereka.

Oleh karena saya sudah selesai menonton “Beyond Evil” dan “The Devil Judge” ini masih ongoing, saya belum bisa menyepakati persamaan atau perbedaan di antara kedua drama ini. Namun, naga-naganya sih beda kelas, ya. Chemistry antara Shin Ha Kyun dan Yeo Jin Goo jauh, jauh, jauh lebih kuat dibandingkan antara Ji Sung dan Jin Young. Jam terbang (lama karir sebagai aktor) memang sangat menentukan, mian.

Yang saya ingin bahas adalah beberapa komentar yang mengira karakter Kang Yo Han terinspirasi oleh Bruce Wayne/Batman, seorang miliarder/filantropis pada waktu siang dan penumpas kejahatan pada waktu malam.

Jika menilik banyak scene saat Kang Yo han sepertinya menghabisi orang jahat dan membela yang lemah, maka itu asumsi yang wajar. Apalagi aksi vigilante, mencari keadilan dengan kekuatan sendiri dan tidak bergantung pada hukum, menjadi tren drama Korea tahun 2021 ini, sebut saja drakor “Taxi Driver” yang dibintangi oleh Lee Je Hoon dan “Vincenzo” yang dibintangi oleh Song Joong Ki.

Akan tetapi, semakin lama semakin terungkap bahwa Kang Yo Han bukan vigilante. Dia bukan pembasmi kejahatan seperti Batman atau seperti karakter Lee Je Hoon yang membantu membalaskan dendam di dalam drama “Taxi Driver”.

Semua tindakannya terencana dengan baik, semua kekejamannya terukur, dan itu semua bukan untuk membantu orang yang tidak bersalah, tapi untuk membalaskan dendamnya sendiri.

Iya, Hakim Kang Yo Han bukan seorang vigilante, bukan orang benar yang mengedepankan kepentingan orang banyak. Semua keputusannya di live court show adalah peluru yang ditembakkan terarah untuk menjatuhkan lawan-lawannya, orang-orang yang dia anggap bertanggung jawab atas kematian kakaknya Kang Isaac dan istrinya dalam sebuah kebakaran di gereja sepuluh tahun lalu.

Dan itu yang membuat drama ini menarik. Ekspektasi kita melihat Kang Yo Han sebagai protagonis pembela kebenaran dan keadilan di dalam drama ini perlahan tapi pasti dikhianati oleh penulis skrip.

Hubungan antartokoh yang terungkap jelas pada akhir episode ke-6

Meskipun relasi antara kehidupan pribadi dan masa lalu Kang Yo Han dan Kim Ga On belum banyak diceritakan, tapi bagan di atas menampilkan semua karakter yang penting di dalam drama ini yang berguna untuk membalaskan dendam Kang Yo Han. Mari kita ikuti perkembangan karakter dan perkembangan alur cerita dalam sepuluh episode mendatang.

Akhir kata, apakah drama “The Devil Judge” ini recommended? Totally. Episode baru ditayangkan setiap hari Sabtu dan Minggu. Selamat menonton!