Segitiga Pembuatan Fiksi: Membaca, Menonton, dan Menulis

Apa itu fiksi?

Fiksi adalah cerita yang dikhayalkan oleh seorang penulis tentang sebuah karakter (manusia atau hewan) yang berada pada setting (tempat dan waktu) tertentu untuk mencapai sebuah tujuan.

Kunci dari kata fiksi adalah khayalan.

Fiksi bisa saja terinspirasi oleh karakter, peristiwa, dan periode yang nyata, tapi alur dan tujuan cerita mesti dijaga supaya fiksi tidak menjadi penceritaan ulang sebuah sejarah yang telah diketahui oleh banyak orang.

Saya yang bergerak di dalam pembuatan fiksi berpendapat bahwa ada tiga aktivitas yang harus dilakukan secara berimbang untuk menghasilkan sebuah karya fiksi yang berkualitas, yaitu: membaca, menonton, dan menulis.

Relasi di antara ketiga aktivitas tersebut saya gambarkan sebagai berikut:

B5DDEF81-ABB8-496D-910A-FB48A4CD5BF9

Kegiatan membaca dan menonton saya taruh di dua sudut paling atas karena kedua aktivitas ini memiliki porsi yang sama besar. Seseorang pertama kali mengenal fiksi pasti dari buku yang ia baca dan/atau film yang ia tonton. Melalui buku dan film ia mengenal dunia dan semesta yang dikhayalkan dan diciptakan oleh orang lain.

Membaca dan menonton adalah dua aktivitas yang saling timbal balik dan saya memakai dua tanda panah berlawanan arah untuk melambangkan hal ini. Sebuah karya fiksi yang dibukukan bisa mendorong orang untuk menonton bentuk karya tersebut berupa film, atau sebaliknya.

Pencipta fiksi menciptakan karakter dan menulis alur berdasarkan nilai-nilai yang ia anut. Pemateri sebuah workshop menulis skrip film yang saya pernah ikuti berkata bahwa hanya ada lima nilai yang dijewantahkan oleh seorang penulis fiksi di dalam karyanya, yaitu pandangan pribadinya terhadap agama, politik, uang, cinta, dan (maaf) seks.

Menurut saya pendapat ini ada benarnya. Kita ambil contoh karya fiksi di dunia Barat dan Timur. Di dunia Barat, seks bukanlah sebuah hal yang tabu untuk dibicarakan, namun sebaliknya di dunia Timur. Oleh karena itu karya fiksi yang secara eksplisit lewat kata-kata atau adegan menampilkan aktivitas seksual akan lebih laku di dunia Timur daripada di Barat. Di dunia Barat ini dianggap biasa, di dunia Timur ada thrill dan excitement yang lebih karena ketabuan dan keterbatasan eksposurnya di dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui aktivitas membaca dan menonton kita bisa mengenal berbagai macam teknik bercerita yang sebenarnya hanya berjangkar pada karakter dan alur. Setting pasti berubah seiring dengan pergerakan karakter dan tujuan pasti sudah ditentukan di awal penulisan karya. Jadi, yang bisa diutak-atik untuk membuat sebuah karya fiksi lebih memikat hati pembaca dibandingkan karya lainnya hanyalah karakter dan alur.

Teknik bercerita yang berjangkar pada karakter adalah teknik tentang sudut pandang (PoV = Point of View). Sudut pandang karakter manakah yang dipakai saat bercerita?

Apakah sudut pandang orang pertama (PoV 1)? Ciri dari PoV 1 adalah pemakaian kata ganti orang pertama baik tunggal (aku, saya) maupun jamak (kami, kita). Kelebihan PoV 1 adalah kedalaman pikiran dan perasaan si karakter yang bisa diselami oleh pembaca. Kekurangannya adalah kedalaman itu tidak bisa diimbangi dengan keleluasaan untuk mengetahui pikiran dan perasaan karakter-karakter lain yang terlibat di dalam cerita.

Jika ingin menjadi sosok yang serba tahu semua yang terjadi baik secara internal maupun secara eksternal dari setiap karakter yang ada di dalam cerita, pakailah PoV 3. Ciri dari PoV 3 ini adalah penggunaan kata ganti orang ketiga yaitu dia dan mereka. Pembaca buku bisa mengetahui isi pikiran dan perasaan sebuah karakter, termasuk semua kejadian yang terjadi di seputar karakter tersebut.

Lain di buku, lain di film.

Fiksi melalui film biasanya memakai PoV 3. Penonton melihat tingkah laku dan sikap si karakter sebagai manifestasi pikiran dan perasaannya, tapi bukan isi pikiran dan perasaan itu sendiri. Kecuali ada narasi yang menggunakan PoV 1 untuk membantu menyampaikan informasi internal tersebut kepada penonton. Film dengan kombinasi PoV 1 dan PoV 3 yang terakhir saya tonton adalah “The Monuments Men” (2014) yang dibintangi oleh George Clooney dan Matt Damon. Film bagus ini bisa disaksikan di Netflix.

Teknik bercerita yang berjangkar pada alur adalah teknik tentang kurun waktu. Apakah cerita memakai alur maju, selayaknya roda waktu yang terus berputar dan bergerak maju? Atau alur mundur, berupa kilas balik yang dialami oleh karakter-karakter di dalam cerita itu? Atau kombinasi dari alur maju dan alur mundur?

Muara dari aktivitas membaca dan menonton adalah aktivitas menulis. Keniscayaan ini saya lambangkan dengan tanda panah yang mengarah dari kata “Baca” ke kata “Tulis” dan dari kata “Tonton” ke kata “Tulis”.

Banyak membaca buku dan menonton film dapat membuat seorang pencipta fiksi merasa kewalahan oleh banjir informasi. Di tengah serbuan keunikan dan gaya bercerita orang lain, seorang pencipta fiksi perlu menemukan keunikan dan gaya berceritanya sendiri. Ia perlu menulis untuk menuangkan kembali apa yang ia sudah serap supaya dirinya sebagai “wadah” tidak “kepenuhan” atau bahkan “pecah”.

Melalui aktivitas menulis, seorang pencipta fiksi dapat belajar:

1. Mengungkapkan pikirannya sendiri secara terstruktur dengan berkaca pada apa yang ia sukai/tidak sukai dari karya fiksi orang lain.

2. Menemukan genre favorit dan gaya bercerita yang khas dirinya.

3. Memberikan persetujuan/sanggahan terhadap tema dan nilai-nilai yang diangkat oleh penulis fiksi lain di dalam karya-karya mereka.

Banyak membaca dan menonton tanpa menulis hanya membuat seorang pencipta fiksi merasa “mampet”. Ia memiliki banyak ide cerita yang dipicu oleh bacaan/tontonannya, namun ia tidak memiliki media untuk mengekspresikan ide itu. Tulisan yang terinspirasi oleh bacaan/tontonan tidak harus berupa cerita fiksi kok, ia bisa juga berupa esai nonfiksi.

Dari bagan yang saya buat di atas, terlihat jelas bahwa supaya dapat terus menulis saya harus terus membaca dan menonton. Kebetulan yang saya gemari saat ini adalah membaca berita dan menonton drama Korea.

Mempelajari fiksi karya penulis ternama sejak masih duduk di bangku SMP membuat saya sekarang beristirahat dari membaca karya orang lain; sekarang waktunya menulis fiksi versi saya sendiri. Cara mudah untuk memulainya adalah sebagai berikut:

1. Buat sebuah karakter berdasarkan karakter orang yang saya sukai (atau tidak sukai).

2. Taruh karakter tersebut pada sebuah setting yang saya kutip dari sebuah berita. Berita kehidupan sehari-hari memang sumber inspirasi tak berkesudahan untuk sebuah karya fiksi ataupun nonfiksi.

3. Tulis alur dan ending yang bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Voila, sebuah karya fiksi sudah tercipta.

Walaupun aktivitas membaca saya terbatas akhir-akhir ini, aktivitas menonton saya tetap berjalan dengan lancar. Aktivitas ini bisa dilakukan sambil lalu; sambil memasak, menyetrika, menyusui bayi, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Mengerjakan hal-hal itu sambil menonton rasanya seperti sedang ditemani.

Beranjak dari menggemari serial kriminal produksi Hollywood, sejak empat tahun lalu saya menggemari drama Korea dari berbagai genre (walaupun pada akhirnya drakor yang paling banyak saya tonton adalah tentang kriminal dan hukum). Drama Korea memang tidak ada lawannya dalam hal: 1) mengangkat tema biasa menjadi kisah yang membuat baper, 2) mempercantik visual sehingga setiap adegan, yang klise sekalipun, bisa menjadi memorable.

Sebagai pencipta fiksi, ada tiga hal yang saya bisa pelajari dari drama Korea yaitu:

1. Menciptakan karakter yang kuat.

Kalau melihat tentara Korea Selatan, saya akan teringat pada Kapten Yoo Shi Jin (Song Joong Ki). Kalau melihat tentara Korea Utara, saya akan teringat pada Kapten Ri Jung Hyuk (Hyun Bin). Begitu terampil dan cerdasnya para penulis drama Korea dalam menciptakan karakter yang kuat dan berbekas di benak penonton. Saya harus belajar banyak dari para writer-nim.

2. Memilih alur cerita.

Mau alur cerita maju mengikuti waktu? Atau mundur berupa flashback, kilas balik kenangan si karakter, atau perpindahan keseluruhan setting (tempat dan waktu) ke masa lampau? Atau kombinasi alur maju dan alur mundur? Drakor mengajari saya pilihan paling tepat supaya bisa mencapai tujuan penceritaan. Saya bisa belajar banyak tentang cara membuat pembaca tertarik dan terpikat untuk mengikuti sampai akhir.

3. Membagi scene dan menampilkannya dengan teknik zoom in/zoom out.

Tidak ada yang bisa mengajarkan tentang scene setepat sebuah serial/drama. Film memiliki keterbatasan scene karena terikat oleh waktu. Drama memberi kebebasan untuk menampilkan dan mengganti banyak scene karena durasi penayangannya yang panjang. Drakor juga mengajarkan saya mana scene yang penting/tidak penting untuk keseluruhan jalan cerita. Saya juga belajar bagaimana drakor menggunakan teknik zoom in atau zoom out supaya sebuah scene lebih memorable dan memberi impak emosional.

Drama Korea bisa menjadi salah satu alternatif tontonan di samping tayangan berita, serial Amerika yang berpuluh-puluh season, dorama Jepang, dan drama Cina. Romantisme yang berlimpah, plot twist yang tak tertebak, dan visual yang memanjakan mata adalah permulaan yang baik untuk mulai menyukai drakor.

Semakin banyak kamu menonton, semakin lihai pula kamu dalam menciptakan fiksi. Drakor akan sangat membantu kamu dalam memilih genre, cara bercerita, dan lain-lain yang ujungnya akan membuat kamu menjadi penulis yang lebih baik.

Dijamin.

PS: Kalau saya perlu drakor sebagai motivasi untuk menulis, chingudeul saya merasakan manfaat yang berbeda, lho. Simak yuk.

Gita chingu

Manda chingu

Dwi eonni

Rian chingu

Ima chingu

Risna eonni

Nas chingu

Rani chingu

Deya chingu

Litha chingu

Asri chingu

Lala chingu

DK chingu

Lendyagasshi chingu

13 thoughts on “Segitiga Pembuatan Fiksi: Membaca, Menonton, dan Menulis

  1. Salut sangat dengan kakak yang satu ini. Saya malah baru off untuk menulis fiksi, karena beberapa waktu ke belakang kebanyakan nulis yang fakta dan faktual. Pengen banget lagi nulis fiksi dan bermain diksi-diksi. Tumpul sangat ini diksi-diksi indah saya, memang perlu banyak membaca lagi biar bangkit lagi, hehehe

    Like

Leave a comment