Karena Hidup Cuma Sekali

Pagi ini di WAG kesayangan saya di-mention oleh seorang teman mengenai kebiasaan saya dalam men-setting target dalam banyak hal: either to be number one or not. Waktu membacanya saya terkejut; oh begitu ya yang orang lain lihat dari saya karena saya sendiri tidak pernah benar-benar memikirkan aspek kepribadian saya yang satu ini.

Personality Is Inherited

Kalau dipikir-pikir (lagi) saya ini mirip dengan kedua orang tua saya dalam hal menetapkan target. Ketika sudah memantapkan hati melakukan sesuatu, kami akan go all the way, 끝까지 (kkeut kaji), sampai akhir kata orang Korea. Nggak ada yang namanya berhenti di tengah jalan sampai mencapai tujuan.

Going halfway is just never my way. Kenapa begitu? Saya juga nggak tahu. Saya cuma ingat Mama saya pernah bilang kalau saya itu either tombol 0 or 1, either nggak mau ngerjain sesuatu sama sekali or ngerjainnya habis-habisan segala daya upaya sampe bikin orang lain heran. Di sekolah, pekerjaan, relasi dengan orang lain saya selalu either hot or cold, either like or dislike, saya sulit berada di tengah-tengah.

Akan tetapi, untuk memilih sesuatu itu pun perlu banyak sekali pertimbangan. Saya perlu riset, perlu bertanya ke orang lain yang sudah mendalami bidang itu terlebih dahulu, perlu mengecek constraint yang dimiliki oleh diri sendiri, bahkan sampai memikirkan skenario kapan dan di mana saya harus dan akan berhenti.

Iya, waktu memulai sesuatu yang ada di benak saya bukan hanya mengambil langkah pertama, tapi juga kebesaran hati saat mengambil keputusan untuk berhenti dan menutup chapter kehidupan yang satu itu, serta tekad untuk merasa cukup dan melanjutkan hidup. Next challenge, please.

Knowing When to Stop

Pada tahun 2016 waktu berusia 34 tahun saya mulai belajar balet. Tidak, saya tidak kurang kerjaan atau kebanyakan waktu luang. Motivasi utama saya bergabung dengan sekolah balet adalah untuk menurunkan berat badan. Saya sangat membenci olahraga (kecuali kendo), tapi saya suka menari. Balet adalah opsi yang mengombinasikan fun dari menari dan berkeringat deras ala lari maraton.

Perjalanan saya belajar balet dimulai dari kelas privat dengan guru untuk meletakkan dasar-dasar menari balet, yang kemudian dilanjutkan dengan masuk ke kelas yang diikuti oleh anak saya yang waktu itu berada pada level paling tinggi di sekolah balet itu.

Apakah mamak-mamak setengah baya ini malu satu kelas dengan anak-anak kecil berusia maksimal 10 tahun? Tentu tidak. Sama-sama sudah membayar untuk belajar kok, ngapain malu? Kemampuan saya waktu itu pun masih setara dengan anak kecil. Bahkan saya tidak bisa melakukan split sebaik mereka.

Saya dan anak saya yang sulung sampai tampil di pertunjukan tahunan dari sekolah balet itu. Bersama-sama berlatih, mengisi suara di studio karena akan memerankan drama yang dikombinasikan dengan menari, menyetir jauh-jauh ke tempat pegelaran di Jakarta, semuanya sudah saya lakoni. Setelah satu tahun saya tahu saya harus berhenti.

Lho, katanya melakukan segala sesuatu sampai akhir, kok ini malah berhenti? Karena berhenti juga adalah sebuah akhir, termination point.

Dengan merujuk pada tujuan awal saya belajar balet, saya tidak menganggap penting berpartisipasi dalam pertunjukan, dari weekend ke weekend pentas di berbagai mal, pokoknya semua kegiatan dari sekolah balet itu yang tidak berhubungan sama sekali dengan ilmu menari balet itu sendiri.

Saya tidak menganggapnya penting sama sekali. Tujuan saya belajar balet adalah untuk mengolah tubuh dan ketika tujuan itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan tercapai, saatnya bagi saya mencari means atau alat lain. Oleh karena itu, dengan senang hati saya menutup chapter belajar balet dan melanjutkan perjalanan menuju chapter berikutnya yang masih berhubungan dengan menjaga kesehatan tubuh.

Tahu kapan harus berhenti sama pentingnya dengan tahu kapan harus memulai. Memulai dengan tekad untuk menjadi dan melakukan yang terbaik, 200% dari kapasitas yang dimiliki; mengakhiri dengan rasa syukur karena diberikan kesempatan untuk menjalani sesuatu yang mungkin tidak dapat diakses banyak orang.

Saat mulai belajar balet main idea-nya adalah mengolah tubuh saya dan means yang tersedia ketika itu kebetulan adalah sekolah balet. Setelah menuntaskan perjalanan di sana (saya tidak bilang pembelajaran karena apalah arti saya belajar selama satu tahun dibandingkan belasan tahun yang dihabiskan oleh seorang balerina), saya melanjutkan perjalanan ke akademi taekwondo. Delapan tahun telah berlalu dan saya masih berstatus murid sampai sekarang.

Banyak orang mengira saya menyerah ketika saya berhenti belajar balet. Tidak, saya tidak menyerah, saya mencukupkan perjalanan sampai di situ. Saat memulai sesuatu saya memulai dengan passion yang harus menjadi skill dan kemudian mastery.

Saya sadar betul passion saja tidak cukup untuk mendalami balet dan sampai kapan pun saya tidak akan mencapai mastery karena starting point saya sudah ketinggalan jauh banget dibandingkan teman-teman les saya yang masih kecil-kecil. Jadi dengan besar hati saya stop, mengatakan cukup untuk balet, dan beralih ke subyek lain.

Begitu pula dengan perjalanan saya berkomunitas bersama Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP). Tujuan awal saya adalah menemukan cara untuk kembali menulis dengan tertib dan terjadwal setelah hiatus selama dua tahun. Selama berada di KLIP kerajinan saya dalam menulis dijaga sekali dan diganjar dengan badge. Ketika saya sudah bisa menulis tanpa iming-iming imbalan, sudah waktunya bagi saya untuk pergi dan menemukan playground baru. Oleh karena itu saya berhenti dengan bahagia dan penuh ucapan syukur.

Karena Hidup Cuma Sekali

Masih seputar topik ‘menetapkan target dan menjadi number one or nothing at all‘, seorang teman lain bertanya:

Hidup cuma sekali, kenapa sih suka menantang diri sendiri sampe segitunya? – RN –

Yang saya tanggapi dengan:

Karena hidup cuma sekali jadi harus menantang diri sampe segitunya. – RJ –

Hidup ini cuma sekali, kesempatan dan tantangan akan datang dan pergi, dengan kemungkinan sangat kecil ia akan datang kembali dan mengetok pintu keingintahuanmu. Percayalah pada saya yang sudah berusia 40 tahun lebih. Jadi, sambarlah setiap tantangan yang datang dengan keberanian dan mata terbuka.

Tetapkan tujuan dan motivasimu melakukan sesuatu dan awali semua keputusan dengan pemikiran dan pertimbangan masak-masak. Jangan lupa siapkan skenario kapan akan mulai, kapan mungkin beristirahat (jika tantangannya terlalu berat), dan kapan harus berhenti.

Hidup ini cuma sekali, jadi carilah tantangan sebanyak-banyaknya untuk mengasah diri. And while you’re at it, be and do the best to your ability.

Leave a comment