Do to Others What You Want Others to Do to You

Saya mulai berorganisasi sejak SMP dengan menjadi anggota OSIS. Kebiasaan ini berlanjut sampai SMA, kuliah, bekerja, dan bahkan sekarang setelah menjadi ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Berkomunitas adalah salah satu kebutuhan primer saya dan saya bersyukur selalu ada jalan untuk bertemu dengan dan belajar dari orang lain.

Saya pernah menulis di sini mengapa mahasiswa perlu belajar berorganisasi. Menurut saya, hal ini diperlukan sebagai sarana untuk mengenal diri sendiri, mengenal orang lain, dan mengelola ekspektasi (yang pada ujungnya adalah untuk mengelola kekecewaan dan kesehatan mental).

Itu adalah pelajaran yang saya dapatkan selama berorganisasi. Namun, berorganisasi juga bisa membuat sisi terburuk seseorang muncul dan meresahkan banyak orang di sekitarnya.

Waktu saya kuliah ada seorang rekan di kepanitiaan yang selalu semangat dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Pokoknya kalau dikasih tenggat waktu satu minggu, dia akan selesai dalam tiga hari. Dia selalu bergerak cepat dan tangkas, the best banget deh.

Sayangnya, pada banyak kesempatan dia memaksa orang lain untuk gercep juga, untuk bergerak sesuai dengan ritme dia. Sebuah hal yang tidak mungkin karena hei semua orang kan diciptakan berbeda; apa yang penting bagimu belum tentu penting bagiku, dan sebaliknya.

Berorganisasi di kampus pada usia 20-an adalah waktu paling tepat untuk belajar mengungkapkan kesepakatan untuk tidak sepakat. Sayangnya lagi, si teman itu melihat ketidaksepakatan sebagai bentuk perlawanan terhadap posisinya (apalagi kalau dia kebetulan sedang menjabat sebagai ketua acara tertentu). Pada akhirnya dia menjadi pundung, ngambek, dan mundur begitu saja dari kepanitiaan yang terbentuk dan bikin spaneng plus bingung semua orang.

Suatu kali saya dan dia bekerja di sebuah kepanitiaan dengan posisinya yang melapor ke posisi saya, dan dia kembali marah karena orang lain (termasuk saya) tidak bekerja secepat yang dia inginkan. Dia pun menyatakan ingin keluar lewat SMS blast dan ini mengagetkan. Teman-teman lain di kepanitiaan itu jadi resah, merasa tidak enak, dan (menurut saya) buang-buang waktu mereka-reka sebenarnya siapa yang bikin salah sama dia. Kalau dalam bahasa Korea: 왜 또? –> Kenapa lagi sih???

Saya pantang membujuk-bujuk orang. Saya alergi sama orang yang merajuk dan perlu dibujuk. Saya ogah menahan orang yang mau pergi. Kalau hati seseorang sudah tidak lagi berada di satu tempat, lepaskan saja untuk kebaikan bersama. Itu value yang saya pelajari waktu kecil dan masih saya pegang sampai sekarang.

Contohnya, apakah saya akan membujuk anak buat makan dan mandi ketika mereka lagi mogok makan dan mandi? Nehi, tidak akan pernah saya melakukannya. You know the rules, you follow them, begitu yang saya ajarkan pada anak-anak saya. Tidak ada merajuk dan membujuk, ‘ya’ katakan ‘ya’, dan ‘tidak’ katakan ‘tidak’.

Jadi, waktu si rekan bilang ingin keluar saya balas dengan ‘Oke, terima kasih untuk sumbangsihmu selama ini. Sukses di tempat baru.’ Cepat, singkat, dan padat, karena saya harus move on mencari penggantinya di kepanitiaan yang sedang berjalan. Si rekan kebakaran jenggot merasa tidak cukup penting bagi saya sehingga saya tidak membujuknya. Teman-teman lain membujuk saya untuk membujuknya, dan tentu saja itu menempatkan saya pada posisi yang sulit ketika itu.

Peribahasa Mula-Mula

Peribahasa yang perlu dilakukan banyak orang mula-mulanya berbunyi demikian:

Lakukan ke orang lain apa yang kamu ingin orang lain lakukan kepadamu.

Kalau pengen orang baik sama kamu, baikin duluan meskipun kebaikan itu belum tentu dibalas oleh orang yang sama. Kalau pengen orang jahat sama kamu, ya jahatin aja duluan; dijamin orang itu pasti akan cepat membalas kejahatanmu dengan kejahatannya.

Selama 40 tahun lebih hidup saya belajar bahwa semua hal perlu dimulai dari kita, ambillah inisiatif dalam berelasi dengan orang lain. Kalau menunggu inisiatif dari orang lain, bisa jadi kita mendapatkan hal yang kita inginkan ketika matahari terbit di utara.

Untuk kasus rekan saya itu, si peribahasa mula-mula harusnya berbunyi seperti ini: “Kalau nggak mau orang lain gampang pundung ke kamu, jangan gampang pundung duluan.” Eh kalimat bijak ini malah dipelintir menjadi: “Karena lu udah bikin gua pundung duluan, lihat aja gua juga bisa bikin lu pundung bahkan lebih pundung dari yang gua alami.”

Semangatnya adalah pembalasan, membalas apa yang orang lain telah lakukan padanya meskipun tindakan orang lain itu mungkin tidak bermaksud jahat dan dilakukan hanya karena kita semua adalah individu yang berbeda. Semangatnya adalah membuat orang lain tahu kalau dia sudah menderita. Orang lain mungkin tahu, tapi apakah mereka juga peduli dan mengerti? Biasanya tidak. Kita nggak segitu pentingnya karena kita bukan pusat dari semesta alam ini, lho.

Akhirnya memang saya membujuk si rekan itu untuk kembali karena kepanitiaannya sudah kadung jalan. Itu adalah sebuah keputusan yang saya sesali karena pada kepanitiaan lain ketika semua orang sibuk berperan dan mengambil bagian, dia memilih untuk lepas tangan dan tidak membantu.

Padahal dia tahu betapa terbatasnya jumlah orang di organisasi itu, padahal dia tahu bagaimana kami mengandalkannya untuk hal yang memang he’s really good at. Namun, dia sengaja tidak mau terlibat, tenang-tenang saja melihat kami semua pontang-panting juggling antara kegiatan belajar di kampus dan kehidupan berorganisasi, dan malah sibuk mengomentari apa yang kami lakukan keliru/salah/tidak tepat.

Dalam keadaan tertekan dan tidak sabar, saya yang waktu itu tidak menjabat sebagai ketua bertanya kepada orang ini mengapa dia begitu tega berbuat seperti itu pada kami, teman-temannya berorganisasi. Jawabannya sederhana, supaya kami tahu bagaimana rasanya dibiarkan bekerja sendirian.

Pelajaran Moral

Selepas kuliah saya tidak pernah lagi kontak dengan orang itu. Eh enggak ding, setelah mendengar jawabannya di atas saya memutuskan untuk tidak lagi berteman dengannya karena values kami jelas-jelas berbeda.

Kami masih berada di dalam organisasi yang sama sampai kuliah tingkat akhir, tapi saya menjaga jarak dan menghindarinya sedapat mungkin. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Rijo ciong dengan orang itu dan tidak ada salah seorang pun dari kami yang mengambil inisiatif untuk berbaikan duluan.

Ini adalah keputusan yang saya juga sesali karena saya melewatkan kesempatan berharga untuk belajar bekerja sama dengan orang yang saya sangat tidak sukai. Pokoknya kalau soal dia banyak hal yang saya sesali pada tahun itu, mulai dari (karena desakan banyak orang) membujuknya untuk tetap tinggal di organisasi sampai pada akhirnya kehilangan relasi pertemanan karena saya terlalu tidak tahan dengan pola pikirnya yang berpusat pada diri sendiri.

Akan tetapi, berkat pelajaran darinya saya menjadi makin keukeuh memegang value berikut:

Do to others what you want others to do to you.

Bagaimana menurut kamu?

Leave a comment