Gara-Gara Rambut Pendek

Halo, halo. Bertemu kembali dengan tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli tahun 2021. Yeayyy! Tidak terasa ya tahun ini menyisakan lima bulan lagi yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Tantangan bulan ini adalah menulis cerita lucu. Pas banget sih berhubung bulan Juni dan Juli adalah bulan-bulan berduka karena pandemi. Saban hari ada saja teman/kerabat/handai taulan yang meninggal dunia. Hiks.

Cerita lucu yang saya ingin bagikan kali ini berkaitan dengan rambut.

Haa? Rambut siapa? Rambut sayalah, hahaha. Saya mulai dengan sedikit latar belakang kehidupan saya, ya.

Sejarah Rambut

Sedari kecil saya berambut panjang. Dulu sepinggang, terus sepunggung, lama-lama cukup sebahu, dan sekarang cepak. Alasan saya betah berambut panjang tak lain dan tak bukan adalah permintaan dari orangtua saya.

Orangtua saya memiliki dua orang anak perempuan, saya dan si anak tengah. Untuk membedakan kami berdua yang memiliki usia dengan jarak hanya 1.5 tahun pas dan berperawakan mirip, maka saya berambut panjang dan adik saya berambut pendek.

Rambut saya sedari lahir sudah tebal dan ikal. Rambut adik saya sedari lahir tipis, mudah rontok, dan cenderung lurus. Sewaktu kecil, rambut saya yang panjang, banyak, dan keriting memang menjadi ciri khas fisik saya.

Saya mempertahankan rambut panjang sepunggung sampai lulus SMA. Sewaktu kuliah, saya beberapa kali memotong rambut sebahu di salon langganan Mama.

Setiap kali pulang dari salon dengan rambut jauh lebih pendek, Mama saya pasti literally menangis. Menangisi rambut saya yang gugur tanpa tanda jasa sepertinya, hahaha.

Sikap Mamalah yang membuat saya menyadari makna istilah “rambut adalah mahkota bagi wanita” karena Mama memperlakukan rambut saya dengan begitu hati-hati dan penuh penghargaan.

Sebelum berangkat ke Jepang pada tahun 2003, saya memotong rambut dulu sampai hanya sedagu. Soalnya saya tahu biaya pangkas rambut di Tokyo mahal sekali. Bisa sepuluh kali lipat biaya pangkas rambut di Bandung.

Saya yang berambut panjang (dengan perawatan, tentunya)
Saya yang berambut pendek tanpa perawatan (karena harganya terlalu mahal buat mahasiswa asing yang bergantung penuh pada beasiswa)

Suatu kali saya ditempatkan di Balikpapan oleh perusahaan pertama tempat saya bekerja. Di sana saya bertugas menangani purchasing untuk Departemen Sales dan Marketing untuk seluruh Pulau Kalimantan.

Sebagai orang sales, saya harus sangat menjaga penampilan. Jika rambut mulai keriting ga karuan, maka itu waktunya re-bonding.

Dari frekuensi setiap tiga bulan sekali menjadi sebulan sekali. Kalau tidak sempat ke salon, saya punya puluhan jepit untuk menahan rambut yang berantakan.

Masa-masa itu melelahkan sekali.

Setiap minggu saya traveling mengelilingi ibukota lima provinsi di Pulau Kalimantan. Boro-boro memikirkan rambut, tidak kena tipus karena terus bepergian saja sudah membuat saya bersyukur banget.

Akhirnya pada satu business trip ke Jakarta, saya nekat mampir ke salon Johnny Andrean di Plaza Semanggi dan memotong rambut sepanjang punggung menjadi … cepak, persis seperti laki-laki.

Potongan rambut sebulan sebelum menikah yang bikin perias pengantin sport jantung. “Sanggulnya tar gimana, Mbakkk???” begitu protesnya. Diberkatilah mereka yang menciptakan rambut palsu dan konde yang bisa dilepas-lepas.

Sejak saat itu saya berambut pendek dan saya tidak pernah menyesalinya.

Bagi saya yang menikah, bekerja di pabrik Senin sampai Sabtu, dan kemudian melahirkan dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, kepraktisan itu nomor satu.

Rambut pendek begini mudah sekali dicuci, diatur, dan dihias kalau ada kondangan. Cukup pakai gel rambut sedikit, sisir pakai tangan, jadi deh tampilan yang pantas untuk pesta.

Jika saya masih berambut panjang dan harus membersihkan rumah dan mengurus keluarga di tengah hawa kota saya yang punya sebelas matahari (suhu aspal di sini pernah mencapai 40 derajat Celcius), maka saya pasti akan kegerahan, merasa tidak nyaman, dan ujung-ujungnya cranky.

Bagaimana dengan Mama saya? Tiga belas tahun kemudian Mama masih membujuk saya untuk memanjangkan rambut kembali, tapi saya tidak mau. Dan akhirnya bujukan Mama itu beralih ke anak perempuan saya yang sulung, yang memiliki potongan rambut persis seperti saya.

Seperti saya, si Kakak juga berambut pendek dan pastinya memakai anting

Selain praktis, rambut pendek membuat saya mengalami hal-hal lucu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini dia ceritanya.

Disangka Laki-Laki yang Hamil

Sewaktu mengandung anak pertama, saya mengambil cuti hamil dan melahirkan satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL). Alasannya sederhana, saya ingin menghabiskan 2 dari 3 bulan hak cuti saya yang diatur oleh pemerintah untuk membersamai si buah hati.

Dua bulan sebelum HPL, kami memulai renovasi untuk menambah ruangan di dalam rumah. Rumah yang kami beli memiliki 2 kamar tidur saja, sedangkan ada keluarga besar yang mau datang berkunjung dari Bandung dan Surabaya.

Akhirnya kami memutuskan pindah ke rumah kontrakan yang terletak tak jauh dari rumah kami yang sedang diperbaiki. Rumah kontrakan itu kumuh dan tidak terawat, tapi fully furnished dan bisa disewa selama 3 bulan saja selama renovasi berlangsung.

Suatu pagi ketika saya sudah tidak ke kantor karena sudah mengambil cuti, suami saya tergopoh-gopoh masuk ke rumah untuk menghindari serangga. Tanpa tahu pasti serangga apa yang mengejarnya, saya menepuk serangga itu tepat sebelum ia hinggap di leher suami saya.

Saya tidak melihat serangga itu jatuh dan mati, tapi saya cuek saja dan mengantar suami yang hendak pergi kerja.

Tak lama kemudian saya merasakan wajah dan bibir saya bengkak. Tengkuk saya terasa panas dan nyeri. Saya sulit bernapas. Ketika becermin baru saya melihat ada tawon terbang dari sela-sela rambut saya.

Ternyata saya digigit tawon dan mengalami reaksi alergi yang hebat.

Pikiran pertama yang terlintas adalah bagaimana menyelamatkan bayi saya. Dengan panik saya menelepon suami yang langsung menyetir pulang. Sesudah itu kami menuju ke UGD di rumah sakit yang terdekat dari rumah.

Sepertinya itu kali pertama saya bersyukur kami tinggal di kota mandiri yang memiliki banyak fasilitas umum yang terletak berdekatan satu sama lain. Perjalanan dari rumah saya ke rumah sakit hanya membutuhkan waktu lima menit.

Di ruang UGD saya langsung dipasangi selang oksigen dan disuntik dengan antialergi. Sambil menunggu dokter jaga datang, saya berbaring menyamping karena merasa kesulitan bernapas sambil tidur telentang.

Begitu tirai disibak, saya mendengar suara dokter berkata, “Bapak kena alergi apa?”

Saya memutar tubuh untuk menghadap dokter itu dan beliau langsung berteriak:

“Bapak hamil?”

Kalau waktu itu saya tidak memakai selang oksigen, mungkin saya sudah ikut tertawa terpingkal-pingkal.

Wajar jika si dokter salah mengira saya sebagai seorang laki-laki yang gendut karena ia hanya melihat saya yang berambut pendek dari arah belakang.

Namun, kalimat berikut yang ia ucapkan benar-benar tidak masuk akal. Memangnya laki-laki bisa hamil? Ini ‘kan bukan film komedi “Twins” (1988) yang dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger dan Danny Devito!

Sambil merawat saya, pak dokter terus meminta maaf. Saya cuma bisa manggut-manggut karena muka saya masih bengkak. Dalam hati sih saya tertawa hebat.

Perawakan yang dikira sebagai bapak-bapak yang lagi hamil. Foto diambil dalam keadaan santai, tidak mengira akan menjalani operasi sesar darurat 8 jam kemudian.

Potongan rambut pendek ini memang membuat saya sering dikira sebagai laki-laki. Selama 13 tahun terakhir saya pernah dipanggil bapak, om, mas, dan abang.

Terkadang ada untungnya berambut pendek.

Pertama, saat harus menyetir malam misalnya untuk menjemput suami ke bandara atau lembur di pabrik, potongan rambut ini membuat orang segan dan tidak mengganggu saya. Soalnya saya dikira laki-laki.

Seorang satpam yang sudah bekerja sangat lama, sekitar sepuluh tahun, di kompleks perumahan saya bahkan tidak ngeh kalau saya perempuan, ibu-ibu pula, padahal kami berpapasan hampir setiap hari.

Suatu kali saya menurunkan jendela mobil waktu melewati pintu gerbang kompleks. Melihat saya dan perut yang membuncit, si pak satpam berkomentar lucu:

“Ibu bisa hamil?”

Pertanyaan macam apa itu? Hahaha. Di bangku belakang mobil duduk dua orang anak manis yang menantikan kelahiran adik mereka, anak saya yang ketiga. Tentu saja saya bisa hamil!

Keuntungan kedua dari berambut pendek ada pada cerita berikut ini.

Bertukar Identitas dengan Suami

Sewaktu tinggal di Swis, saya dan suami berlangganan kartu untuk bis dan kereta. Kartu berlangganan bulanan untuk bis dinamai Onde Verte. Kartu berlangganan tahunan untuk kereta dinamai Demi-Tarif (half-price card).

Dengan Onde Verte, kami bisa naik-turun bis di rute mana saja yang dicakup di seantero kota Neuchâtel tempat kami tinggal.

Rute yang dicakup oleh Onde Verte. Cukup luas, ya?

Dengan Demi-Tarif, kami hanya membayar setengah dari harga tiket kereta yang diberlakukan oleh SBB CFF FFS (perusahaan kereta di Swis).

Gambar Demi-Tarif dari Google yang tidak memakai foto pemilik kartu (saya malas membongkar kotak harta karun untuk mengambil kartu milik sendiri, hehehe)

Ke mana pun kami pergi, kami harus selalu membawa kedua kartu ini. Apa akibatnya jika tidak membawa?

Di Swis tidak ada petugas atau mesin yang mengecek tiket sebelum penumpang memasuki armada atau peron di stasiun kereta. Akan tetapi, selalu ada petugas yang mengecek tiket atau kartu berlangganan secara acak. Jika penumpang tidak bisa memberikan bukti tiket/kartu, maka konsekuensinya adalah …

denda sebesar 100 CHF per orang (setara dengan 1.5 juta Rupiah kurs sekarang) tanpa perkecualian.

Suatu kali saya dan si Kakak pergi ke Bern untuk memenuhi undangan makan siang. Perjalanan dari Neuchâtel ke Bern ditempuh selama kurang lebih 40 menit.

Di dua stasiun sebelum Bern naiklah seorang petugas wanita untuk memeriksa tiket. Saya tenang-tenang saja mengeluarkan Demi-Tarif dari dompet, sampai saya sadar bahwa kartu yang saya pegang adalah milik suami saya!

Dompet kartu kami memang sering tertukar karena tidak ada ciri khususnya. Sore hari sebelumnya kami baru pulang berbelanja dan menaruh semua tas, kunci, dompet di meja dapur. Rupanya pada pagi hari saya mengambil dompet kartu yang salah.

Saya mulai berkeringat dingin, bagaimana kalau saya didenda 100 CHF? Itu ‘kan uang yang sangat banyak. Kalau saya nekat memakai kartu milik suami, pada kartu ada keterangan gender: male atau female. Kalau ketahuan, bakal lebih runyam lagi.

Ketika petugas tiket mulai mendekati kursi saya, akhirnya saya melepaskan kacamata, merapikan rambut, dan dengan percaya diri menyerahkan Demi-Tarif yang saya pegang.

Ibu petugas tiket memandangi saya dan kartu secara bergantian. Ketika itu saya memakai jaket tebal karena sedang musim gugur dan saya berambut sangat pendek seperti laki-laki. Saya berharap sekali itu saja saya dianggap sebagai pria.

Setelah berdetik-detik lamanya, akhirnya saya ditanya begini:

“Monsieur Dinata?”

Dengan suara yang diberat-beratkan saya mengangguk dan menjawab: “Oui.”

Setelah itu si Kakak yang berusia 2 tahun memanjat ke kursi dan mencoba menggapai mesin pemeriksa tiket yang dipegang oleh si ibu petugas. Si petugas tiket pun cepat-cepat menghindar dan meninggalkan kami, (rupanya beliau tipikal orang Swis yang tidak menyukai anak kecil).

Saya mengembuskan napas lega banget, banget, banget. Namun, perjalanan belum usai. Saya masih deg-degan bagaimana nanti perjalanan pulang dari Bern ke Neuchâtel. Bagaimana kalau ada pemeriksaan lagi?

Untunglah tidak ada dan kami bertiga bisa berkumpul di rumah sore itu dengan perasaan tenang.

Sampai sekarang suami saya masih heran, kok bisa sih saya lolos dari pemeriksaan petugas?

Si petugas tiket pakai kacamata, ya? Enggak kok, matanya normal.

Udah tua kali, jadi agak rabun. Enggak, masih muda, kok. Paling seumuran aku, 30-an gitu deh.

Jadi, kok bisa lolos? Ya, kita memang mirip aja kali jadi dia enggak curiga.

Sejak kami masih berpacaran, orang-orang sering bilang bahwa saya dan suami sangat mirip. Memang jodoh, katanya. Saya selalu membatin, mirip dari mananya sih?

Setelah pulang ke rumah, mengambil dompet kartu yang benar, dan menyandingkan kartu identitas kami selama tinggal di Swis, saya baru bersorak: untung kami mirip!

Dan saya pun terhindar dari membayar denda dan uang belanja kami tidak berkurang sebesar 100 CHF.

Hikmah Berambut Pendek

Hikmah yang paling saya ingat adalah kejadian dengan Demi-Tarif itu.

Pernah juga sih ada kejadian saya hampir dipukul oleh orang yang mau menyerobot tempat parkir yang hampir saya masuki. Begitu si bapak itu melihat saya turun dari mobil, eh dia melepaskan kepalan tinjunya dan langsung meminta maaf.

“Ternyata ibu-ibu,” katanya.

Entah apa maksud pernyataannya. Apa karena saya ibu-ibu jadi cara menyetir saya dimaklumi?

Saya cuekin saja pernyataan-pernyataan semacam itu, sama seperti saya tidak mengacuhkan pak dokter yang mengira saya bapak-bapak yang lagi hamil.

Hahahahahaha ….

6 thoughts on “Gara-Gara Rambut Pendek

  1. Ya ampuun, ngakak saya membacanya. Dokternya saking kagetnya, langsung menyangka seorang bapak-bapak hamil. Wkwkwkwk.

    Wah saya salut dengan Rijo. Memotong rambut model cepak itu, menurut saya, adalah suatu keberanian.

    Sampai detik ini pun, tidak terbesit untuk kembali manjangin rambut, Rijo? Ehehe.

    Like

    1. Hai, teteh … epic banget emang si pak dokter hahaha …

      engga niat manjangin rambut lagi euy, soalnya tempat tinggalku panas banget. Sehari perlu keramas 2x buat mendinginkan kepala. Kalau masih berambut panjang kebayang ga nyaman dan rewelnya aku sehari-hari 🤣🤣

      oya, anak perempuanku ada 2, si bungsu berambut panjang. Jadi udah lengkap deh 1 berambut pendek, 1 berambut panjang 😄

      Like

Leave a comment