Ada Apa dengan Pria dan Alat Musik?

Salah satu hal yang menjadi daya tarik drakor “Crash Landing on You” (Hyun Bin, Son Ye Jin, 2019) adalah cerita tentang male lead-nya yang berprofesi sebagai tentara dan terpaksa melepaskan mimpinya menjadi seorang pianis karena tuntutan orang tua.

Kapten Ri Jeong Hyeok (Hyun Bin) berbadan tegap dan memiliki punggung selebar gerbang sekolah. Ini tidak saya buat-buat; di Instagram memang beredar kelakar tentang punggung Hyun Bin, eh Kapten Ri. Sudah terlihat gagah dan keren, eh bisa main piano pula. Bagaimana hati para penonton dari kaum hawa tidak rontok? Badan Rambo, hati Rinto, kurang lebih begitu.

Sepanjang drama yang terdiri atas 16 episode ini sebenarnya hanya ada sedikit adegan Kapten Ri bermain piano. Di pinggir danau di Desa Iseltwald sewaktu ia hendak meninggalkan Swis, di gedung resital waktu ia mendapat kabar tentang kematian kakaknya, di rumahnya di Pyeongyang waktu Se Ri ditahan di sana (foto di atas), di apartemen Se Ri waktu ia hendak meninggalkan Seoul, dan di Zurich dalam bayangan Se Ri yang sedang berharap bertemu dengannya.

Dalam semua adegan bermain piano tersebut, Kapten Ri terlihat romantis dan melankolis. Sebenarnya ia hanya bermain satu lagu saja, sebuah lagu tribut untuk kakaknya yang meninggal dunia. Akan tetapi, komposisi lagu yang lembut dan manis, ditambah raut wajah sedih Kapten Ri, membuat salah satu ciri dari karakter ini tetap bercokol di hati drakorian bahkan berbulan-bulan setelah drama “Crash Landing on You” berakhir.

Kita (atau saya saja, hehehe) akan selalu mengingat Kapten Ri sebagai seorang tentara Korea Utara yang piawai bermain piano, yang permainan pianonya tanpa ia sadari telah menyelamatkan Se Ri dari keinginannya membunuh diri, dan yang terpaksa melupakan cita-citanya sendiri karena anak orang tuanya tinggal satu orang dan harus melanjutkan karir bapaknya di tentara.

Bah, kalau terus dikenang seperti ini bagaimana caranya sembuh dari CLoY Fever? Meskipun saya tidak menyukai ending-nya, alur cerita di dalam drakor ini masih saya ingat sampai sekarang.

Ada apa sih dengan pria dan alat musik?

Sejak menginjak remaja saya selalu melihat pria yang bisa memainkan alat musik sebagai orang yang menarik. Seorang teman yang duduk di depan saya waktu saya kelas 2 SMA sangat ahli memainkan drum. Namanya Rio. Ia mempelajari drum dengan cara otodidak dan cara belajarnya, pada jaman ketika belum ada Youtube dan tutorial online, adalah dengan memukul-memukul meja, kursi, dan kedua pahanya dengan dua batang pensil.

Ia akan memosisikan benda-benda tersebut sesuai dengan posisi snare drum, simbal, bas, dan lain-lain pada set drum sungguhan. Jika ada jam pelajaran kosong, jika dia sedang ingin berlatih, atau jika dia sedang stres karena pelajaran yang sulit dan tuntutan untuk harus memasuki jurusan IPA di kelas 3, ia akan menggebuk-gebuk benda-benda itu.

Itu pemandangan yang saya lihat selama setahun dari meja saya. Tidak ada teman sekelas yang merasa terganggu karena aktivitasnya itu sangat menghibur. Apalagi teman sebangkunya, Joe, sangat pandai memainkan gitar akustik. Petikan gitarnya terkadang memenuhi ruang kelas pada jam istirahat. Setiap hari rasanya seperti menonton pertunjukan musik privat.

Pada tahun 2000 saya masuk ke kampus ITB. Setiap hari Jumat saya akan melihat abang-abang yang jago memainkan piano, gitar, dan alat musik lainnya mengiringi kebaktian di gedung LFM. Sebagai orang yang tidak berbakat di bidang musik, saya sangat mengagumi orang-orang ini.

Mereka belajar teori musik seperti saya, tapi mereka bisa memainkan sebuah lagu tanpa melihat partitur. Sense mereka sangat jalan, mereka bisa merangkai melodi hanya berdasarkan pendengaran. Saya tanpa partitur hanya bisa duduk terpaku, tidak bisa menekan satu tuts pun pada organ yang saya pelajari ketika SMA. Oleh karena itu saya bisa mengatakan bahwa saya tidak berbakat di bidang musik.

Fast forward beberapa tahun kemudian.

Seorang teman baru di tempat kerja baru mendatangi meja kerja saya suatu hari. Dia menawari saya menjadi MC untuk sebuah acara kantor. Oleh karena perusahaan itu mempekerjakan cukup banyak orang asing, dia dan timnya memerlukan seorang MC yang bisa langsung menerjemahkan perkataan MC lain yang menggunakan bahasa Indonesia. MC yang akan berbahasa Indonesia sudah ada dan saya ditawari untuk menjadi partnernya.

Ada satu kalimat Mas Fadli, teman baru saya itu, yang ia ucapkan sebelum ia beranjak pergi dan membuat saya mengernyitkan dahi:

“Orangnya ganteng lho, Jo, kamu pasti suka.”

Saya cek alamat email pasangan MC yang Mas Fadli baru berikan. Ini kan nama perempuan, kok Mas Fadli bisa bilang ganteng sih? Keseleo lidah kali ya, batin saya. Beberapa saat kemudian saya langsung meng-email orang itu untuk mendiskusikan naskah. Kami berkantor di lokasi yang sama namun beda departemen dengan gedung yang berjauhan, jadi kami belum saling mengenal waktu itu.

Kira-kira seminggu kemudian para panita makan bersama di sebuah kafe sebelum menyiapkan gladi resik. Waktu itu dua hari sebelum acara dan semua panitia menginap di sebuah hotel di Surabaya barat. Saya sedang makan ketika pintu kafe itu terbuka. Seorang pria datang, menyapa semua yang hadir, dan kemudian duduk di arah jam 11 saya.

Ia memesan nasi dengan lauk ayam, saya ingat sekali, dan ia bisa menghabiskan semua dagingnya tanpa sisa dengan menggunakan sendok dan garpu. Potongan ayam itu bersih, hanya tinggal tulangnya. Diam-diam saya kagum; kalau saya sudah pasti makan ayam dengan tangan. Makan daging ayam sampai bersih itu ribet dan saya pantang tidak menghabiskan makanan.

Sekembalinya ke ballroom hotel, barulah kami berkenalan. Kami sama-sama tertawa karena kesalahpahaman yang telah terjadi. Saya selalu mengira ia seorang perempuan karena nama di alamat email-nya, dan ia tidak pernah mengoreksi saya. Ia sendiri selalu mengira saya seorang pria karena nama di alamat email saya.

Sepanjang beberapa email kami yang berbalasan dalam seminggu terakhir itu, dia selalu memanggil saya dengan sebutan “Pak Rijo” dan saya biarkan saja. Selama setahun bekerja di kantor itu saya sering sekali disangka sebagai seorang pria oleh mereka yang berkomunikasi lewat email dengan saya. Saking seringnya saya jadi malas mengoreksi. Saya biarkan saja orang-orang dengan asumsi mereka, sampai pada saat kami bertemu langsung dan mereka merasa kecele.

Di ballroom tempat kami gladi resik ada sebuah panggung yang sedang dibereskan. Tidak ada lagi naskah yang kami perlu diskusikan dan kami hanya sedang menunggu panitia yang lain datang, jadi saya biarkan saja ia ngeloyor pergi ke situ. Saya tak menyangka ia mengambil gitar yang tergeletak di tengah panggung dan mulai memetiknya pelan-pelan.

Kemudian ia kembali duduk di dekat saya dan memainkan lagu ini:

When the night has come, and the land is dark,
And the moon is the only light we see.
No I won’t be afraid, no I-I-I won’t be afraid
Just as long as you stand, stand by me.

(Penyanyi asli: Ben E. King)

Oleh karena saya hafal lirik lagu ini, saya pun ikut menyanyi. Di tengah-tengah lagu, si pria yang minta disapa dengan nama “Andi” ini tiba-tiba memecah suaranya menjadi suara tiga, dong. Saya waktu itu sedang menyanyi dengan suara satu dan kombinasi suara kami ditambah petikan gitar akustik membuat teman-teman panitia lain sontak menoleh.

Dan di situ saya pun jatuh … jatuh … jatuh … cinta (bukan jatuh pingsan, ya, hehehe).

Oke, saya tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Eh tapi kok saya mengalaminya sendiri? Mungkin lebih tepatnya ketertarikan pada pandangan pertama, ya. Pria ini bisa bermain alat musik (gitar, dan kemudian saya tahu bahwa dia adalah pianis di gerejanya) dan bisa memecah suara. Hati saya sudah pasti goyang lah.

Padahal setelah performance singkat itu kami berdua berdebat cukup sengit soal naskah. Saya tidak sungkan memperbaiki kesalahan tata bahasanya. Dia antara kagum dengan saya yang bilingual dan kesal karena dikritik terang-terangan. Akan tetapi, setelah selesai berdebat kami bisa berperan sebagai MC dengan kompak untuk acara yang berlangsung selama 3 hari tersebut. Yang penting ‘kan naskahnya beres.

Waktu itu adalah tahun ke-9 diadakannya acara tahunan itu. Nama acaranya sudah berganti beberapa tahun lalu dan pandemi mungkin membuat acara ini tidak akan ada lagi karena tidak boleh ada kerumunan. Sampai sekarang, bahkan setelah kami berdua resign dari perusahaan tersebut, orang-orang masih mengingat kami sebagai satu-satunya pasangan MC acara SIQC yang akhirnya menikah.

Saya belum menonton banyak drakor selama 4 tahun terakhir. Drakor yang saya ingat mencakup unsur musik hanya “Crash Landing on You” dan “Hospital Playlist” (2020) yang baru-baru ini saya tamatkan. Jika “CLoY” memakai musik sebagai media untuk Kapten Ri dan Se Ri menyadari jalan hidup mereka yang pernah bersinggungan di Swis, maka “HP” adalah tentang 5 orang dokter yang bersahabat sejak mereka bersekolah sampai bekerja di rumah sakit yang sama dan bermain band setiap akhir pekan.

Menonton “HP” rasanya perih-perih gimana gitu. Drama ini mengingatkan akan persahabatan pada masa muda saya, yang hangat, tak terlupakan, tak tergantikan, namun pada akhirnya akan berlalu juga. Para karakter di dalam drakor ini adalah orang-orang yang beruntung karena masih bisa berteman walaupun tahun berganti dan hidup menjadi begitu sibuk.

Selain sibuk sebagai dokter, kelima orang ini diceritakan gemar bermain musik dalam band. Pada awalnya saya kira Song Hwa (satu-satunya wanita di dalam kelompok pertemanan itu) yang akan menjadi vokalis. Untung posisinya digantikan oleh Ik Jun karena suara Song Hwa (akting ataupun bukan) cukup memprihatinkan. Mian.

Setiap kali menonton adegan mereka bermain band di basement rumah Seok Hyung, darah saya selalu berdesir. Tidak ada yang lebih keren dari pria yang bermain alat musik. Jadi saya girang bukan kepalang melihat Ik Jun dan Joon Wan yang bermain gitar, Seok Hyung yang bermain keyboard, dan Jung Won yang bermain drum di setiap episodenya. Song Hwa yang bermain gitar bas juga berhasil mempesona saya. Belajar memainkan gitar bas itu sulit, lho; jauh lebih mudah belajar piano.

Setelah 12 episode tidak ada satu pun lagu yang dibawakan oleh band dokter ini yang nyantol di kuping saya, namun hati saya selalu hangat mengingat adegan demi adegan mereka bermain musik. Mungkin ini tidak termasuk adegan klise; bukan jenis adegan saat tokoh utama pria merayu tokoh utama wanita dengan musik. Yang pasti, ketika para dokter ini bermain band mereka berhasil membuat hati banyak penonton dan penggemarnya kesengsem. Saya, maksudnya.

Dan saya pun menemukan bias baru, Yoo Yeon Seok (dokter Jung Won) yang ternyata aslinya pandai memainkan drum. Ah, jadi tidak sabar menunggu “Hospital Playlist” Season 2 tahun depan. Yang membuat saya paling penasaran adalah kisah cinta antara dokter Jung Won dan dokter Gyeo Wool (Shin Hyun Bin). Cerita mereka sederhana, manis, dan sukses bikin saya baper.

Yoo Yeon Seok

Kira-kira 3 tahun lalu kami membeli set drum elektrik atas permintaan suami. Setelah gitar, piano, harmonika, dan suling, sekarang dia mau belajar memainkan drum? Oke deh, tapi saya juga minta dibelikan flute karena saya tertarik mempelajarinya. Ternyata suami saya bisa langsung memainkan drum itu karena dia sudah mengira-ngira di pikirannya.

Ajaib. Dan saya pun jatuh cinta lagi padanya.

Sekarang anak kami yang kedua yang sedang belajar drum dan piano. Bapaknya belajar musik secara otodidak, tapi saya ingin si Abang mendapat pendidikan musik secara formal. Si Abang ini sehari-harinya tidak pernah berlatih. Yang aneh, setiap PR lagu pasti lulus tanpa masalah, jadi saya sudah berhenti mencereweti dia untuk latihan. Syukurlah ia mewarisi bakat musik dari suami saya.

Sebagai penutup, ini foto Pak Andi sedang bermain gitar di sebuah acara. Wajahnya begitu karena dia tidak mengira akan saya foto. Saya cepat-cepat foto karena melihatnya hari itu membuat saya bernostalgia akan suatu hari pada bulan September tahun 2006. Foto di sebelahnya adalah foto saya dan suami saat ulang tahun pernikahan kesekian.

Jadi kangen suami yang sedang kerja, hehehe.

14 thoughts on “Ada Apa dengan Pria dan Alat Musik?

  1. Cieeeee… Kalah nih drakor sama kisah pertemuan mbk Rijo dan suami. Kl aku di posisi itu juga udh pasti jatuh.. jatuh.. dan jatuh cinta. Beruntunglah cinta kalian saling bersambut. Hihihi..

    Langgeng dan bahagia selalu yaaaa…

    Liked by 1 person

    1. Wakkaak untung ga jatuh pingsan (lagi) yak 🤣🤣🤣 cepet prosesnya sama suami. September ketemu, november jadian, 2 thn kemudian nikah.

      Sudah ngerasa mantap, hehe.. makasih doanya, mbak asriiii ❤️

      Like

    1. Belum pernah nonton heartstring euy, tak google dulu 😁

      Iyes, ga susah kok jatuh cinta dan mencintai. Cukup bisa main gitar dan nyanyi and the rest is history hahahaa

      Like

Leave a comment