Di Bawah Pohon Sakura yang Mati

Di lapangan berumput hijau di seberang gedung pertukaran mahasiswa asing ada sebuah pohon Sakura yang sudah lama mati.

Ingatkah kamu?

Batangnya besar, diameternya setengah dari lingkaran kedua lenganmu. Ranting-rantingnya menjulang tinggi menggapai langit. Satu, dua tahun, satu, dua dekade semua orang menunggu bunga mekar padanya. Namun tidak ada yang terjadi. Jangankan bunga, sepucuk daun hijau pun tak tumbuh.

Kamu sangat suka bersandar pada pohon itu. Kamu bilang kasihan jika ia kesepian. Sebab tidak ada yang mendatanginya; ia dijauhi orang karena tidak memberikan keteduhan.

Pada permulaan musim gugur ketika kita datang, pohon Sakura yang sudah lama mati itu tegak berdiri. Tanpa mahkota, sama seperti pohon-pohon Sakura lain yang meranggas di sampingnya. Dia tidak terlihat berbeda dari yang lain, sampai saat musim semi tiba. Ketika satu demi satu tunas hijau bermunculan pada pohon lain, pohon itu tidak berubah. Sebuah sosok tinggi, gagah, tanpa sedikit pun tanda-tanda kehidupan.

Pada musim semi, satu demi satu pohon Sakura berdandan, bunga-bunga bermekaran, kapan pun kita mendongak untaian warna putih dan merah muda menghiasi cakrawala. Seperti halnya banyak orang yang sengaja datang ke kampus kita untuk hanami, kita pun menikmati duduk dalam hening di bawah pergola Sakura. Melewatkan waktu yang berjalan lambat, atau kita yang sedang tak ingin tergesa-gesa.

Di situ kita bercakap-cakap tentang masa depan, tentang latar belakang, tentang harapan dan impian. Pada permulaan usia 20-an kita berdua adalah orang-orang optimis. Kita belum tahu bahwa hidup punya caranya sendiri untuk mengubah kita menjadi orang yang getir, pahit, dan selalu bertanya-tanya. Kita tidak percaya bahwa waktu dan jarak pada akhirnya akan merenggangkan kita.

Bukan di situ kamu menyatakan cinta, namun di situ kamu membaringkan tubuh, memejamkan mata, dan menikmati belaian angin. Di lapangan berumput hijau itu, di bawah pohon Sakura yang sudah mati itu, dan di seberang gedung yang kita kerap kali sambangi itu, aku menatapmu dengan rasa sayang yang membuncah.

Bertahun-tahun kemudian aku menyaksikan drama Korea ini. Tentang dua orang yang awalnya tidak saling menyukai dan akhirnya saling jatuh cinta, seperti premis di sejuta drama Korea lainnya. Tentang salah satu dari mereka yang meregang nyawa. Tentang si wanita yang selalu ditindas dan dibuat menderita. Tentang aktornya yang kemudian sakit berat seperti karakter yang diperankannya.

Aku lupa pada episode berapa, ada adegan si pemeran utama pria meletakkan kepalanya di pangkuan si pemeran utama wanita. Ia memejamkan mata dan tidur, atau berpura-pura tidur. Si wanita bergeming. Suasana begitu damai, ia sungkan membangunkan si pria. Waktu ia mendongak ke langit, di pelupuk matanya daun-daun kering terbang dan berguguran. Bukan bunga Sakura seperti yang kulihat belasan tahun lalu, namun nuansanya sama. Damai, penuh kasih, rasanya ingin menghentikan detik yang terus berjalan.

F20F6763-CA75-41F9-8601-4157E94F6D9D

Kim Woo Bin dan Suzy dalam drakor “Uncontrollably Fond” (2016)

Berbeda dengan kita, Shin Joon Young (Kim Woo Bin) bukan mahasiswa biasa. Ia tidak datang dari keluarga kelas pekerja seperti aku dan kamu. Ia tidak berkutat dengan diktat, textbook, dan jurnal. Makanannya sehari-hari adalah naskah drama dan film. Ya, itu memang tuntutan pekerjaannya sebagai aktor.

Berbeda denganmu, Shin Joon Young tidak memiliki tubuh yang sehat. Kamu gemar menjelajah alam dan melintasi gunung. Aku ingat saat kita mendaki Gunung Fuji, lambatnya langkahku membuatmu tidak sabar. Tanpa mengindahkanku kamu melaju dengan tongkat kayu di tanganmu. Amarah kutahan karena aku tak rela pengalaman di puncak gunung itu dinodai oleh pertengkaran. Keesokan harinya baru kuungkapkan isi hati dan perang mulut tak terhindarkan.

Waktu itu tinggal dua minggu sebelum kita berpisah, aku ingat sekali. Gunung Fuji dibuka pada akhir bulan Juli dan kita pergi pada pertengahan bulan Agustus. Sesudah itu kita dan teman-teman yang lain menjelajahi Aomori dan Hokkaido, namun dari sana kamu memisahkan diri. Lambaian tanganmu dari balik jendela kereta terlihat sangat kikuk. Sudah waktunya, kupikir, hatimu sudah mendingin jauh sebelum aku benar-benar lepas landas.

Dari petualanganmu kamu kembali sebentar ke asrama kita untuk mengucapkan selamat tinggal. Semalam-malaman aku mengepak barang, namun kamu enggan membantu. Lebih baik berjarak dari sekarang, kamu bilang. Aku mengerti dan sedih bukan kepalang. Keesokan pagi kamu menunggu di depan pintu asrama. Tidak sendirian, tapi bersama beberapa orang teman yang akan tinggal sampai dengan akhir bulan September. Guru bahasa Jepang aku sudah siap dengan mobilnya; ia akan mengantarkan aku dan dua orang teman lain ke bandara.

Kita melewati sebuah perpisahan yang canggung. Hatiku meratap tapi air mataku tak keluar. Kamu terus-menerus mengalihkan pandangan, tak berani menatapku. Ketika waktunya tiba untuk memasukkan koper-koper besar itu ke dalam bagasi, kamu membantu. Ketika kami satu persatu mengucapkan selamat tinggal pada kalian yang berdiri murung di depan pintu, kamu mendekapku sedikit lebih lama.

Tak ada kalimat manis penuh cinta yang terucap, yang ada hanya janji sepintas untuk bertukar kabar. Tenggorokanku tercekat. Jemarimu bergetar waktu kamu meremas pundakku. Kucari-cari matamu namun kamu menghindar. Saat itu juga aku tahu, bahwa kita memang sudah retak. Kenangan kutinggalkan di Tokyo, bersama memori duduk berdua denganmu di bawah pohon Sakura yang sudah lama mati. Tidak ada lagi harapan untuk kembali, seperti tidak ada lagi harapan untuk pohon itu dapat berbunga lagi.

Berbeda denganku, Noh Eul (Suzy) memiliki hidup yang tidak tenang dan dikejar-kejar hutang. Satu kesamaan kami hanya rasa tanggung jawab kami sebagai anak tertua di dalam keluarga dan tekad kami untuk memastikan adik-adik kami bisa bersekolah dengan sebaik-baiknya. Biarlah kami yang bekerja keras, adik-adik hanya perlu berkonsentrasi pada pelajaran mereka masing-masing.

Ini yang menjadi sumber pertikaian dan perpecahan kita sebelum awal September tahun itu. Kamu ingin aku mengikutimu pulang ke negaramu. Tak apa aku menghabiskan satu tahun lagi di sekolahku di Indonesia, yang penting setelah itu aku harus langsung menyusulmu. Kamu bilang tempatmu di sana adalah sebuah negeri penuh harapan, ada banyak kesempatan. Kendala keuangan bukan masalah, selalu ada beasiswa dan bantuan bagi yang membutuhkan.

Berkali-kali kutegaskan tentang tugas dan tanggung jawabku kepada keluargaku di rumah. Dengan ayah yang pensiun dini karena sakit dan dua adik lagi yang masih duduk di bangku kuliah dan SMA, aku dituntut untuk membantu ekonomi keluarga. Fokusku waktu itu adalah cepat lulus dan cepat mendapatkan pekerjaan. Aku tak berpikir untuk mencari cara pindah ke negaramu. Pasti makan waktu, makan tenaga, makan biaya; bermigrasi begitu saja bukanlah sebuah kemewahan yang aku mampu miliki.

Diskusi kita tentang ini di atap asrama seringkali terhenti tiba-tiba dan tak pernah berkesimpulan. Kamu selalu mendengus dan beranjak pergi setiap kali mendengar alasanku yang tidak pernah berubah. Aku hanya bisa melapangkan dada, mencoba melupakan kerikil-kerikil tajam yang perlahan-lahan merusak jalan yang menyambungkan hati kita. Yang aku inginkan adalah menghargai waktu yang teramat singkat yang kupunya bersamamu. Itu saja.

Tidak seperti Noh Eul, aku tidak pernah dipaksa untuk berpisah denganmu. Kamu tidak pernah membuat-buat alasan untuk menjauh dariku sepanjang bulan-bulan yang kita habiskan berdua. Kita berada di dalam lingkungan yang sehat. Teman-teman kita banyak, keseharian kita sibuk dengan berbagai kegiatan. Latar belakangmu yang dari Barat dan aku dari Timur menjadi bahan pembelajaran. Setiap hari kita menemukan hal baru dari diri masing-masing.

Di negara asal, kita berdua juga bahagia dengan keluarga dan teman-teman. Perpisahan kita tak terelakkan; semua orang tahu bahwa kita hanya punya waktu dua belas bulan. Sesudah itu perlu tekad yang kuat untuk tetap mempertahankan hubungan, kesabaran untuk menunggu saat berbincang. Perbedaan waktu dua belas jam lama-lama menyakiti dan menyurutkan niat kita. Satu, dua bulan kita masih bersemangat. Kesibukan dan lingkungan yang baru membuat tangan kita lepas dan kita melanjutkan hidup.

Tak seperti Shin Joon Young dan Noh Eul yang memutuskan bersama sampai Shin Joon Young sembuh (atau meninggal?), kita tidak pernah memutuskan seperti itu. Hidup kita sudah terpisah jauh. Ingatanku akan kamu dan ingatanmu akan aku kadang-kadang saja muncul di permukaan, tersimpan di bagian belakang kepala kita. Terkenang, namun tidak ingin diulang. Kita sudah bahagia dengan pilihan kita masing-masing, jauh setelah kita berpisah di perbatasan kota Yokohama.

Pada bulan Maret dan April setiap tahunnya, ketika musim semi tiba, ketika bunga Sakura bermekaran, aku akan selalu ingat pohon Sakura yang sudah mati itu. Dan kamu yang bersandar padanya. Tertawa renyah ketika melihatku berlari menujumu dari seberang jalan. Melambaikan tangan dan memanggilku,

“Rui!”

Tempat kita di bawah pohon Sakura yang sudah mati itu tidak pernah diganggu orang. Mereka yang datang ke kampus kita setiap kali bunga Sakura mekar, berlomba-lomba menggelar tikar dan mengeluarkan penganan, menikmatinya sambil dikelilingi bunga-bunga cantik. Tak sekalipun mereka melirik ke pohon kita yang kering kerontang. Dengan tenang kita menikmati kebahagiaan kita sendiri.


* hanami = kebiasaan orang Jepang piknik di bawah pohon Sakura ketika bunganya sudah bermekaran.

 

6 thoughts on “Di Bawah Pohon Sakura yang Mati

  1. aku menantikan cerita yang happy endingnya ah, masa beberapa cerita terakhir yang sad endingnya ajapun *protes ceritanya sebagai pemirsa drakor aliran happy ending, hehehe

    Like

Leave a comment