Ibu Mengajari Saya Tentang Rasisme

Saya akan mengawali tulisan ini dengan sebuah kisah.

Suatu hari waktu saya masih duduk di kelas satu SD, teman semeja saya tiba-tiba mengambil gunting dan berusaha memotong rambut yang tumbuh di lengan saya. Seketika saya berteriak kaget karena beberapa helai tergunting.

Teriakan saya itu mengundang perhatian seisi kelas dan guru kami tergopoh-gopoh mendatangi kami. Saat teman saya ditanya mengapa dia melakukan hal itu, dia hanya menjawab enteng:

“Kenapa kulitnya tidak licin seperti saya?”

Pada hari itu, untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa saya berbeda. Pandangan saya menyapu seisi ruang kelas dan saya melihat betapa berbedanya bentuk mata, tekstur rambut, dan warna kulit saya dibandingkan mereka semua.

Saya pulang ke rumah sambil menangis Setibanya di rumah saya bertanya kepada Ibu yang sedang bersiap untuk berangkat ke tempat kerjanya.

“Kenapa aku berbeda?”

Ibu memandang saya dengan penuh empati akan keresahan yang berkecamuk di dalam hati saya yang masih muda. Ibu kemudian berkata:

“Semua orang dilahirkan berbeda. Masalahnya bukan di kamu.”

Waktu itu saya ingin sekali bertanya, jadi masalahnya di siapa? Namun Ibu kelihatan terburu-buru dan saya pun mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Sebelum meninggalkan rumah, Ibu memeluk saya erat dan berbisik: “Tidak apa-apa, kamu akan baik-baik saja.”

Percakapan singkat kami siang hari itu terus terkenang-kenang di benak saya, bahkan sampai saya mengalami kejadian yang mirip ketika duduk di kelas tiga SMP.

Bertentangan dengan keinginan orang tua, saya memasuki sebuah SMP dengan jam belajar yang panjang, mulai dari pukul 6.30 sampai dengan 16.00 setiap hari Senin sampai dengan Jumat. Hari Sabtu dikhususkan untuk kegiatan ekstrakurikuler, seperti: Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), dan Patroli Keamanan Sekolah (PKS).

Suatu hari pada jam istirahat terakhir yang cukup panjang, saya tertidur sambil duduk karena kelelahan. Sepanjang masa SMP saya selalu belajar mulai pukul 4.00 pagi dan berhenti pada pukul 5.30 untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.

Alangkah kagetnya saya ketika bangun dan mendapati kepala terasa sangat berat. Rupanya selama saya tidur, teman-teman yang duduk di meja di belakang saya menggandoli rambut saya yang panjang dan keriting dengan berbagai macam barang.

Barang-barang itu tersangkut dan tidak ada yang mau membantu saya melepaskan diri darinya. Dengan kedua tangan saya mencoba menguraikan rambut saya yang kusut-masai; saya dapat mendengar bunyi barang berjatuhan. Di lantai saya melihat berbagai macam pensil, pulpen, dan penggaris besi berserakan. Kali ini saya menangis; saya teramat sedih diperlakukan seperti itu.

Sejak kejadian itu saya dipanggil “mamih” karena rambut saya yang panjang dan keriting dan kusut seperti mie, kata mereka. Saya selalu pura-pura tidak mendengar jika dipanggil demikian. Saya memiliki nama sendiri, nama yang berarti yang disematkan oleh kedua orang tua sejak saya dilahirkan. Mengapa orang-orang ini mencoba mengubah nama saya dengan seenaknya?

Pada hari itu saya juga menceritakan apa yang terjadi di sekolah pada Ibu. Jawaban beliau tetap sama. “Jangan khawatir, kamu akan baik-baik saja. Masalahnya bukan di kamu.”

Saya pun marah. “Jadi masalahnya di mana? Kenapa aku kelihatan dan diperlakukan berbeda?”

Ketika itu Ibu tetap tidak menjawab sampai saya merasa jengkel sekali. Jadi, masalahnya di siapa, atau di mana? Siapa yang bertanggung jawab atas cara pandang orang-orang itu terhadap saya?

Mengapa dalam sembilan tahun dua kali saya dikritik habis-habisan hanya karena saya tidak berkulit cerah, bermata kecil, dan berambut lurus. Apakah penampilan fisik yang berbeda membuat saya berdosa?

Dua kali saya mengalami rasisme dan saya terluka karenanya. Dengan lantang saya menuntut jawaban mengapa hal itu terjadi pada saya, dan apakah hal itu akan terjadi lagi jika saya beranjak dewasa.

Bagaimana jika saya duduk di bangku SMA, atau kuliah, atau di dunia kerja? Akankah ada lagi orang-orang yang mencoba menggunting rambut di lengan saya atau menggandoli rambut saya dengan barang?

Bukan Ibu jika beliau tidak menunggu momen yang tepat untuk menjelaskan pada saya apa itu rasisme. Beberapa bulan setelah saya lulus SMP, beliau tiba-tiba mengatakan kalimat-kalimat berikut ini ketika saya sedang menemaninya berkebun.

“Rasisme atau kebencian atas suatu ras adalah contoh kekonyolan manusia yang paling tidak masuk akal. Setiap orang bisa memilih beragama apa, masuk partai politik mana, menikah dengan siapa, dan seterusnya. Iya’kan? Namun tidak ada seorang pun yang bisa memilih terlahir di tengah ras dan bangsa apa, berkulit terang atau gelap, bermata hitam atau biru, tidak ada.”

Ibu menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan, “Jika tidak ada seorang pun manusia yang bisa memilih rasnya, maka tidakkah aneh ketika rasnya dianggap sebagai sebuah kejahatan? Tidakkah aneh jika manusia dikucilkan karena asal ibu dan bapaknya, karena banyak tidaknya jumlah rambut di lengannya? Padahal tidak ada satu pun dari hal itu yang manusia bisa pilih sebelum lahir ke dunia ini.”

Saya kira Ibu sudah melupakan kejadian ketika saya masih SD itu, tapi ternyata belum. Sebenarnya Ibu ingin sekali langsung berdiskusi dengan saya, tapi saat itu beliau pun sedang berjuang melawan rasisme yang beliau alami di tempat kerja.

Dari namanya orang sudah tahu bahwa beliau bukan penduduk setempat. Dan di tempat kerjanya, sulit sekali mendapatkan pengakuan dan penghargaan jika seseorang bukan bagian dari masyarakat lokal, walaupun orang itu bekerja dengan sangat baik dan berprestasi.

Sontak saya membalas dengan pertanyaan, “Kalau masalahnya bukan di aku, jadi masalahnya di mereka? Di orang-orang yang mengejek rambutku yang keriting atau nama Ibu yang terdengar aneh?” Saya sangat ingin mendengar Ibu mengiyakan. Saya sangat ingin mendengar Ibu menyalahkan orang lain, tapi ternyata Ibu memberikan reaksi yang berbeda.

“Tidak segampang itu, Sayang. Mereka juga adalah korban dari sistem, dari mitos dan kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun. Anak-anak diajari oleh orang tuanya bahwa ras mereka lebih unggul. Para orang tua diajari begitu juga oleh orang tua mereka.”

“Di tengah kondisi seperti itu, susah untuk memiliki pola pikir yang berbeda. Sulit untuk berpikir terbuka dan menerima ras lain karena sehari-hari tidak ada ras lain yang berinteraksi dengan mereka. Rasanya hampir mustahil membuka mata mereka tentang keberadaan suku bangsa lain dengan karakteristik mereka sendiri. Masalahnya bukan mana ras yang lebih unggul atau lebih buruk. Kita ini hanya berbeda; kita ini diciptakan berbeda-beda.”

Kalimat demi kalimat yang Ibu ucapkan saya resapi baik-baik. Jika tidak ada manusia yang bisa memilih terlahir sebagai ras apa, maka dia tidak boleh dibenci karena rasnya. Bisa saja di tengah perjalanan hidup seseorang mengubah warna kulit, warna rambut, dan warna matanya, tapi semua usaha itu tidak bisa mengubah asal-usul darah dan keluarganya.

Oleh karena itu, saya juga tidak boleh membenci ras dari orang-orang yang bersikap rasis terhadap saya. Mereka tidak bisa memilih terlahir sebagai ras itu, saya juga tidak, jadi buat apa membenci sesuatu yang di luar kendali kita?

Satu hal lagi yang Ibu katakan pada sore itu adalah, di tengah semua bangsa ada orang baik dan orang jahat dan beliau berdoa supaya saya menemukan orang-orang baik dari semua ras dan suku bangsa.

Sebelum Ibu mengatakan itu, saya sudah memiliki sahabat-sahabat dari ras yang berbeda. Saya mengalami semua keasyikan yang dinikmati remaja seusia saya: pergi ke mal beramai-ramai, berfoto bersama di studio, sampai menginap di rumah salah satu teman.

Di tengah orang-orang yang merendahkan ras saya, ada orang-orang berhati baik yang melihat sesama mereka melampaui warna kulit. Kami bersedia saling mengenal sebagai pribadi. Saya bersyukur, walaupun pernah mengalami kejadian buruk, saya tetap memiliki persahabatan yang manis semasa SD dan SMP.

Fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia selama setahun terakhir membangkitkan kenangan saya akan percakapan dengan Ibu beberapa dekade lalu. Ketika bangsa bangkit melawan bangsa karena warna kulit, karena ekonomi, karena agama, atau karena hal lainnya, di situlah saya merasa miris melihat kemanusiaan kita yang berjalan di tempat. Bukannya berkolaborasi, manusia jaman sekarang malah sibuk berkonflik.

Rasisme adalah sebuah topik yang tidak nyaman untuk dibicarakan. Tidak banyak orang yang bersedia mengakui dirinya rasis atau tidak rasis. Manusia melihat penampilan fisik terlebih dahulu, jadi prasangka itu timbul dari pengamatan pertama.

Mungkin ada orang yang awalnya tidak berniat bersikap rasis, tapi mereka menjadikan rasisme sebagai tameng terhadap orang yang terlihat berbeda. Mereka membentuk benteng untuk membendung sesuatu yang bisa membuat tidak nyaman.

Ih, kulitnya gelap, dia kelihatan dekil, pasti dia orang jahat.

Ih, rambutnya keriting, matanya besar, dia pasti pencari suaka di negara saya.

Ibu adalah orang pertama yang mengajari saya sikap yang benar dalam menghadapi rasisme. Masalahnya bukan soal ras saya, tapi soal mencari solusi dari rasisme. Bagaimana memandang manusia lain sebagai pribadi yang unik, melampaui rasnya?

Saya menduga dialog tentang rasisme ini belum selesai dalam satu sampai dua generasi mendatang. Selama manusia masih menganggap seorang bayi yang baru lahir mempunyai kendali atas rasnya, selama itu pula manusia akan membenci manusia lain yang terlihat berbeda. Sebuah kebencian yang tidak beralasan, yang konyol, dan yang sia-sia.

Saat ini saya juga telah menjadi seorang ibu. Sebagaimanapun tabu dan tidak menariknya, rasisme perlu didiskusikan. Rasisme perlu ditindaklanjuti dengan sikap. Rasisme perlu diselesaikan dengan tindakan.

Menyelesaikan rasisme bukan soal mengungkapkan simpati, berpihak kepada korban, mencari suara sebagai kaum minoritas, dan reaksi sejenis itu. Menyelesaikan rasisme adalah tentang menyelesaikan masalah sosial yang timbul akibat pola pikir salah yang sudah mengakar selama berabad-abad dan lintas generasi di dunia ini.

Dan semua solusi dari rasisme dimulai dari menjawab pertanyaan ini:

“Jika saya tidak bisa memilih ras saya dan orang lain tidak bisa memilih rasnya, kenapa ras menjadi pembenaran untuk sebuah kebencian?”

Terima kasih, Ibu, untuk ajaranmu.

Leave a comment