Anakku Tidak Mendapat Medali

Hari ini saya mengantar si Sulung mengikuti pertandingan taekwondo. Pertandingan yang rutin digelar di kota kami ini adalah pertandingan pertama bagi si Kakak untuk tahun 2024 dan pertandingan pertama pascaoperasi pada pinggangnya.

Si Kakak hanya memiliki waktu tiga minggu untuk mempersiapkan diri di tengah-tengah badai ujian sekolah, ujian praktek, dan na-na-na-na lainnya. Berat badannya bertambah drastis karena harus banyak beristirahat dan kurang bergerak setelah menjalani operasi. Dia juga melupakan banyak poomsae (jurus) karena sudah lama tidak berlatih. Tentu saja dia merasa panik dan tidak sepercayadiri biasanya.

Ditambah lagi pada pertandingan kali ini si Kakak memasuki liga baru yang bernama ‘Kelas Prestasi’. Setelah meraih beberapa medali emas di kategori ‘Kelas Pemula’, gurunya berpendapat sudah waktunya bagi anak saya untuk naik kelas, beranjak ke tingkat yang lebih tinggi, dan ibaratnya berenang di kolam yang berarus lebih kencang supaya ia menjadi ikan yang berotot kuat.

Naik kelas adalah perkara yang tidak mudah. Naik kelas memorak-porandakan kepercayaan diri dan keyakinan akan kemampuan diri sendiri. Saya tahu anak saya di kelas sebelumnya meniti pelan-pelan dari medali perunggu sampai mendapat medali emas. Akan tetapi, kami tak mampu menahan rasa deg-degan dan khawatir, apakah dia mampu mengukir prestasi yang sama di kelas yang baru. Bagaimana reaksinya nanti kalau ternyata prestasinya menurun?

Hal yang kami paling tunggu-tunggu pada setiap pertandingan adalah bagan yang berisi jadwal anak-anak turun di partai apa, pada jam berapa, dan melawan siapa saja dari akademi mana. Biasanya bagan dikeluarkan satu hari sebelum pertandingan, tapi kali ini bagan dikeluarkan pada pukul 5 pagi pada Hari-H dan sukses membuat saya dan si Kakak panik karena takut terlambat. Mood si Kakak sudah jelek sejak bangun tidur karena dia bermimpi buruk dan tidak bisa tenang sebelum melihat bagan.

Kami tiba tepat pada waktu partai si Kakak baru dimulai dan disambut dengan kewajiban yang membuat saya terkejut. Berhubung pertandingan poomsae ini seperti sebuah show, para atlet yang bertanding menata rambut dan wajah sampai memakai make up artist segala. Mama panik dong karena anaknya datang dengan rambut dikuncir biasa dan tanpa bedak. Berlarilah saya ke minimarket terdekat untuk membeli lippen dan BB cream demi si Kakak mendapat nilai tambah dari sisi penampilan.

Si Kakak tampil dengan meyakinkan. Saya tahu dia membuat beberapa kesalahan ketika menampilkan jurus, tapi saya berharap dia masih bisa memperoleh medali perunggu. Saya tidak mengharapkan medali perak atau emas baginya karena saya tahu keberhasilan instan adalah jalan tol menuju kecongkakan dan kehancuran.

Pucuk dicinta, ulam tak tiba. Nilainya sama persis dengan peserta di atasnya, sedangkan hanya ada satu medali perunggu. Guru kami mengajukan protes dan meminta pertandingan ulang, tapi tidak langsung ditanggapi karena pada hari ini ada sekitar 380 orang atlet yang bertanding dengan jadwal pertandingan sangat padat. Kami tidak bisa langsung pulang karena harus stand by dengan apa pun keputusan panitia: mengadakan pertandingan ulang atau tidak.

Selama 6.5 jam menunggu kami sudah membaca buku, mendengarkan musik, mengobrol sana-sini, makan berkantong-kantong kudapan, dan pada akhirnya anak saya tidak mendapat medali apa pun. Nilai dari total tujuh orang juri dikumpulkan dan dihitung ulang. Layar yang menampilkan skor hanya bisa mengakomodasi angka dengan 3 digit di belakang koma. Setelah dihitung ulang, anak saya ternyata mendapat skor 6.6803 dan lawannya 6.6805.

Anak saya langsung patah hati dan patah semangat. Dia langsung membungkuk dan tersedu-sedan. Gurunya dan saya juga sedih sekali karena kami tahu bagaimana keras dia berusaha. Ya semua orang bekerja keras kok, bukan hanya kami, dan mendapat sesuatu atau tidak mendapat sesuatu pada akhirnya adalah sebuah anugerah.

Walaupun sangat sedih, si Kakak masih bisa mengucapkan salam dan berpamitan dengan sopan pada kedua gurunya. Di perjalanan pulang selama 40 menit dia terus menangis. Saya biarkan saja. Saya paling anti dibilangin ‘Sudah, nggak apa-apa’ waktu saya sedang sedih banget, jadi saya nggak pernah bilang begitu pada anak-anak saya ketika mereka sedang terpuruk.

Semua orang mengatasi kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan mereka dengan cara dan pace yang khas untuk mereka.

Tahap berat berikutnya bagi kami berdua adalah menanggapi pertanyaan teman-teman akademi tentang siapa mendapat medali apa. Si Kakak adalah satu-satunya atlet yang tidak mendapat medali dari akademi kami yang bertabur medali emas, perak, dan perunggu. Jadi, kami sepakat untuk archive WAG-nya sampai beberapa hari ke depan, sampai kami bisa menata hati dan pikiran dan melihat kekalahan hari ini sebagai cerita dari masa lalu.

Guru kami tadi juga bertanding di kategori ‘Master above 60 years old’ dan memperoleh medali emas. Beliau yang merupakan Master dengan sabuk DAN 8 (level paling tinggi di taekwondo adalah DAN 9) memperoleh nilai 7.565. Juara 1 di ‘Kelas Prestasi’ yang diikuti si Kakak memperoleh nilai 7.085. Jadi, masih ada gap sebesar 0.9 poin sebagai representasi gap kemampuan antara DAN 2 (anak saya) dan guru kami (DAN 8).

Anak saya tidak mendapat medali dan itu tidak apa-apa. She still has a long way to go.

Leave a comment