Review Drama Korea: Doctor John

sumber gambar: https://en.m.wikipedia.org/wiki/Doctor_John_(TV_series)

Bulan lalu seorang teman saya di San Fransisco mengirimkan pesan. Dia dan keluarganya baru mengambil sebuah keputusan sulit. Kakeknya yang sekarang berusia 92 tahun menempati panti jompo sejak 10 tahun lalu. Ia bermigrasi dari Hong Kong ke Amerika Serikat pada tahun 1997 sesaat setelah Hong Kong dikembalikan ke Republik Rakyat Tiongkok. Sang kakek memboyong semua anak dan cucunya, bekerja keras sebagai supir truk penjual tahu di Chinatown, sampai akhirnya bisa mendapatkan kehidupan yang layak.

Seperti yang kita ketahui bersama, tingkat kematian paling tinggi akibat Covid-19 ada di kelompok usia tua yang biasanya memiliki penyakit penyerta. Tak heran dalam laporan dari berbagai negara, banyak kluster baru yang terbentuk di panti jompo (nursing home) dan banyak kematian yang dialami oleh penghuni dan pekerjanya.

Keterbatasan tenaga kesehatan, obat-obatan, dan ventilator di panti jompo tersebut membuat ayah dan para paman dari teman saya ini diminta untuk menandatangani DNR (Do Not Resuscitate), sebuah formulir permintaan dari pasien (atau keluarga pasien) kepada dokter untuk tidak melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika dia mengalami henti nafas dan henti jantung. RJP sendiri berupa tindakan kompresi dada, kejut listrik jantung, pemasangan selang bantu napas, dan obat-obatan emergensi, yang bisa berujung pada kesembuhan atau kematian pasien.

Mereka diminta menyetujui DNR karena ada outbreak di panti jompo lain di dekat situ. Pertimbangan akan keselamatan dan keamanan bersama mengharuskan isolasi semua panti jompo dalam radius 5 kilometer dari pusat outbreak. Isolasi berarti:

  1. Menghentikan semua akses dari luar, termasuk kunjungan dari anggota keluarga.
  2. Mengijinkan tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medis yang diperlukan, termasuk DNR yang sudah disetujui keluarga, jika penghuni panti jompo mengalami henti nafas/jantung yang mungkin disebabkan atau tidak disebabkan oleh virus SARS-CoV2.

Meminjam istilah almarhum Didi Kempot, hati teman saya dan keluarganya ambyar. Sebelum pandemi, kondisi kesehatan sang kakek sudah cukup buruk. Anak dan cucunya bergantian tinggal di panti jompo untuk menemaninya. Menandatangani DNR adalah sebuah keputusan yang serba salah. Membawanya pulang tidak diijinkan karena mungkin ia termasuk Orang Tanpa Gejala (OTG) dan menulari anggota keluarga lain di rumah. Tidak membawanya pulang berarti membiarkannya (mungkin) terinfeksi dan melepaskan kesempatan untuk bersamanya di saat-saat terakhir di dalam hidupnya. Semua serba salah.

Minggu lalu dia mengirimkan pesan lagi. Panti jompo yang ditempati kakeknya masih diisolasi dan sudah ada dua orang suspect Covid-19 yang meninggal di sana. Pengelola panti memasukkan keluarga teman saya ini ke dalam program Comfort Care melalui teleconference dengan dokter dan psikolog, yang bertujuan mempersiapkan keluarga yang akan ditinggalkan untuk mengambil keputusan demi kebaikan pasien dan keluarganya. Intinya adalah, jika semua tindakan medis tidak membuahkan hasil dalam kurun waktu 3 minggu, keluarga pasien harus menyetujui melepas ventilator. Comfort Care juga disarankan jika pasien diasumsikan tetap hidup dengan fungsi organ vital yang terganggu/cacat, sehingga ia akan membutuhkan medical support sampai akhir hidupnya.

Walaupun pedih dan menyakitkan, teman saya dan keluarganya mulai mengikuti program tersebut dan mendapatkan informasi tentang euthanasia sebagai salah satu alternatif untuk melepas kakeknya pergi dengan damai jika saatnya tiba.

Apa itu euthanasia?

Euthanasia menurut Wikipedia adalah sebuah tindakan mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja untuk membebaskannya dari rasa sakit dan penderitaan. Kata kunci dari euthanasia adalah adanya persetujuan (consent) dari si pasien (voluntary euthanasia). Euthanasia tanpa persetujuan pasien secara lisan/tulisan yang hanya berfokus pada pembebasan rasa sakit dan penderitaannya adalah pembunuhan (non-voluntary dan involuntary euthanasia) dan ilegal di semua negara. Ini menjadi pelik saat pasien berada dalam kondisi koma dan tidak mungkin memberikan persetujuan. Consent yang diberikan anggota keluarga dikhawatirkan ditunggangi oleh kepentingan lain, seperti perebutan harta warisan dan usaha untuk menghindari tugas merawat orang sakit.

Mendengar hal ini saya jadi teringat sebuah drama Korea yang berjudul “Doctor John” (2019) dan dibintangi oleh Ji Sung. Drama ini adalah satu-satunya drakor yang saya tahu menyinggung euthanasia dan implikasinya. Saya akan menceritakan sedikit sinopsisnya jadi tulisan ini juga sekaligus review dari drakor “Doctor John”.

Alkisah Cha Yo Han (Ji Sung) adalah seorang dokter anestesi yang dipenjarakan dan dicabut ijin prakteknya karena melakukan euthanasia pada seorang pasien yang sakit berat dan sedang meregang nyawa. Pasien yang dimaksud adalah pembunuh dua orang anak kecil. Kekejian si pembunuh membuat publik memihak Cha Yo Han dan hakim hanya mengganjarnya dengan hukuman kurungan 3 tahun.

Hukuman yang sedemikian singkat membuat khawatir jaksa penuntut di dalam kasus ini, Seon Sok Ki. Walaupun ia adalah ayah dari salah satu korban si pembunuh, rasa keadilannya membuat ia terus merongrong Cha Yo Han bahkan setelah ia keluar dari penjara. Seon Sok Ki tidak menyukai dokter yang mengambil peran sebagai Tuhan, yang bisa seenaknya memutuskan kapan mempertahankan atau mengambil nyawa. Seon Sok Ki khawatir Cha Yo Han akan kembali melakukan euthanasia, mengatasnamakan kepentingan pasien dan keluarganya, untuk melegalkan pembunuhan.

Seon Sok Ki bersama Chae Eun Jeong, seorang perawat yang anaknya juga dibunuh oleh pasien yang di-euthanasia oleh Dokter Cha, terus mengawasi tindak-tanduk Dokter Cha di tempat kerjanya yang baru. Selepas dari penjara Dokter Cha diminta untuk memimpin Pain Management Center. Yang saya tahu, seorang dokter anestesi baru bekerja saat ada operasi. Saya tidak pernah membayangkannya bekerja di luar ruang operasi, dengan satu tim tersendiri, untuk mencari penyebab sakit nyeri yang dialami oleh pasien yang datang ke situ.

Konflik di dalam drama ini bergulir seputar legal/ilegalnya tindakan euthanasia. Salah seorang residen di bawah didikan Cha Yo Han, Kang Shi Young, sangat bergumul dengan hal ini. Ayahnya, direktur rumah sakit tempat Cha Yo Han bekerja, sudah lama koma karena kecelakaan mendaki. Keluarganya, yang semuanya berprofesi sebagai dokter, kebingungan apakah harus terus memasang ventilator atau melepasnya pergi.

Kang Shi Young yang ada di situ pada saat ayahnya jatuh dari bukit yang mereka sedang daki, ingin melepas ventilator karena perpanjangan nyawa ayahnya hanya membuatnya berada dalam kesakitan lebih lama. Tidak demikian dengan adiknya yang ingin mempertahankan ayahnya selama mungkin. Tidak apa-apa koma, asal fisiknya terus ada. Adik Kang Shi Young bahkan menuduh kakaknya ingin membunuh ayah mereka supaya ia terbebas dari rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan ayah mereka saat kecelakaan itu terjadi.

Ketika Kang Shi Young berdiskusi tentang kondisi ayahnya dengan Cha Yo Han yang adalah atasan dan mentornya, Cha Yo Han mengatakan satu hal menarik: “Pain Management adalah tentang menemukan segala cara untuk melepaskan pasien dari rasa sakit yang ia derita. Termasuk di dalamnya kematian.”

Di situ saya menangkap karakter Cha Yo Han sebagai pendukung euthanasia karena fokusnya adalah membebaskan pasien dari rasa sakit. Dia tidak membahas implikasinya dari sudut pandang moral, etika, dan lain-lain. Kalau semua dokter di dunia nyata punya nilai-nilai yang jelas tentang kehidupan dan kematian seperti Cha Yo Han di dalam drakor ini, mungkin kita bisa melihat euthanasia sebagai salah satu jalan menuju kesembuhan atau pembebasan dari penderitaan.

Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang mudah berbelok hati dan motivasinya. Euthanasia di dunia nyata mudah dipersepsikan sebagai pembunuhan walaupun pasien sudah menyetujui, karena masih kurangnya kesepakatan terkait kondisi medis yang memperbolehkan dan tindakan medis apa saja yang termasuk dalam euthanasia.

Menjelang akhir drama, Cha Yo Han kembali dihadapkan dengan masalah euthanasia. Mantan menteri kesehatan yang merekomendasikannya untuk kembali bekerja setelah keluar dari penjara, ternyata menderita ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), sebuah penyakit yang menyebabkan kematian sel syaraf yang mengontrol otot. Salah seorang penderita ALS yang terkenal adalah almarhum Stephen Hawking. Si menteri kesehatan meminta Cha Yo Han untuk melakukan euthanasia padanya; sebuah permintaan yang ia tolak mentah-mentah.

Di sini saya bingung melihat karakter Dokter Cha. Di awal drama tindakannya seperti bisa dibenarkan karena yang menjadi “korbannya” adalah seorang pembunuh. Namun di akhir drama ia seperti tiba-tiba memiliki prinsip moral yang baru. Diskusi tentang euthanasia di dalam drama ini pun dibiarkan menggantung karena asisten si mantan menteri kesehatan yang sudah mulai melakukan euthanasia pada pasien kanker, diceritakan melarikan diri ke luar negeri dan kasusnya pun berhenti. Cha Yo Han juga diceritakan diajak oleh Seon Sok Ki untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan euthanasia.

Ending-nya seperti sengaja dibiarkan terbuka untuk segala penafsiran. Penulis dan stasiun TV yang menayangkan drama ini kentara sekali tidak mau terjebak dalam polemik boleh/tidak boleh, legal/ilegalnya tindakan euthanasia. Tujuan dari drama ini menurut saya cukup tercapai, melihat euthanasia dari berbagai sudut pandang: dokter, pasien, keluarga pasien, penegak hukum, hingga pembuat kebijakan. Keterbatasan jam tayang dan isu medis lain yang diangkat di dalam drama ini memang membuat pembahasan hanya di permukaan dan tidak cukup untuk menuntun penonton mengambil sebuah sikap akan praktek euthanasia.

Kembali ke cerita saya tentang teman saya dan kakeknya. Sampai saat ini kakeknya dalam keadaan cukup sehat. Walaupun mereka sudah menandatangani DNR dan masuk dalam program Comfort Care, ia berharap kakeknya akan meninggal alami, bukan karena sebuah penyakit berat apalagi karena Covid-19. Euthanasia khususnya adalah pilihan yang menggelayuti hati mereka dan semoga tidak akan pernah dipilih. Entah itu DNR ataupun euthanasia, secara nilai agama, moral, dan etika teman saya dan keluarganya tetap merasa sedang mempersiapkan sebuah pembunuhan dari ayah dan kakek di dalam keluarga ini. Hati saya ikut sedih membayangkan rasa bersalah dan beban pikiran mereka.

Bagaimana dengan pembaca budiman, apakah menyetujui atau tidak menyetujui euthanasia? 

10 thoughts on “Review Drama Korea: Doctor John

  1. Waktu bapak saya sakit sebelum meninggal, saya juga d minta utk ttd form DNR sbg anak pertama. Wahh rasa’y gak karu2an mba, apalagi klo d tambah pilihan euthanasia T.T

    Btw, belum sempet nonton dr.John nih. Ngelarin target nulis bulan ini dulu biar tenang. Haha..

    Like

    1. Kebayang gimana perasaan mbak ima waktu itu. Anak pertama kadang ditodong ambil keputusan yang kita ga pengen. waktu bapakku serangan jantung thn lalu dia harus segera pasang ring tapi kemungkinan meninggal 50%. Bener2 mumet …

      Like

Leave a comment